Maret 2020 menjadi bulan baik bagi rakyat di Kulik Sialang, sebab mereka telah mendapatkan hak kepemilikan atas tanah yang selama lima tahun ini mereka perjuangkan. Sebanyak 511 sertifikat atas tanah yang selama ini dibebani oleh izin lokasi perkebunan PT. Ciptamas Bumi Selaras (PT. CBS) telah diterima oleh warga. Meskipun begitu, perjuangan mereka belum sepenuhnya selesai, sebab masih ada tanah yang dibebani oleh hak guna usaha yang belum dapat disertifikasi.

Setelah menerima sertifikat itu, masyarakat tetap mendatangi pihak perusahaan untuk menagih kesepakatan bersama pada 4 April 2019 lalu. Dalam kesepakatan tersebut, pihak PT. Ciptamas Bumi Selaras berkomitmen untuk mendukung proses sertifikasi tanah masyarakat yang berada di dalam HGU (enclave) dan di luar HGU.

Kepala Dusun Kulik Sialang, Sritono mengatakan “telah tiga kali kami ke perusahaan untuk mempertanyakan perkembangan proses pengeluaran izin dari tanah warga (enclave), mereka selalu bilang kalau managemen perusahaan di pusat sedang memproses supaya izin bisa dikeluarkan, katanya Desember 2020 paling lama selesai”.

Masyarakat akan terus berjuang hingga perusahaan dan Badan Pertanahan mengeluarkan izin hak guna usaha dari tanah milik mereka. “Kami menginginkan pengakuan atas tanah kami yang masih ada HGU diatasnya” kata Kiki, warga dusun Kulik Sialang yang juga sekretaris kelompok Perempuan Pelestari Bukit Kayangan.

Pengakuan secara hukum kepemilikan warga atas tanah yang mereka kelola sejak lama itu sangat penting bagi warga. Setidaknya itu akan membuat mereka tidak lagi dibayang-bayangi kekawatiran perusahaan akan merampas tanah mereka. Mereka merasa lebih aman jika secara hukum mereka diakui sebagai pemilik atas tanah tersebut. Seperti yang disampaikan Siti Soleha “Gak pernah terfikir bagi saya untuk menjual tanah. Tanah ini adalah satu-satunya tempat hidup kami, tempat kami mencari nafka. Kalau pemerintah kasih tanah kami ke perusahaan, kami mau kemana lagi?”

Tanah bagi perempuan Kulik Sialang adalah kehidupan. Ada pengalaman, ada ingatan yang tidak pernah bisa digantikan oleh apapun. Tanah juga yang membuat mereka bertahan dan mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kebutuhan sekolah anak-anak mereka. itu adalah alasan utama mereka tidak ingin menjual tanah milik mereka kepada perusahaan.

Kesadaran atas hak lah yang membuat warga Kulik Sialang mengorganisir dirinya dan menuntut pengakuan negara atas tanah yang mereka miliki. Tuntutan dilakukan kepada pemerintah desa, kabupaten, provinsi bahkan ke presiden. Tuntutan tersebut disampaikan melalui surat dan pernyataan-pernyataan di ruang terbuka. Mereka menyurati presiden untuk memberitahukan konflik yang mereka alami dan meminta pemerintah untuk menyelesaikannya. Bersama dengan surat tersebut juga dilampirkan dokumen yang berisi 213 tandatangan masyarakat yang berkonflik, historis dusun Kulik Sialang dan kronologis perjuangan yang telah dilakukan masyarakat. Berkali-kali juga mereka mendatangi perusahaan, meminta mereka meng-enclave kan konsesi HGU mereka yang berada di atas tanah warga.

Untuk diingat lagi, konflik agraria ini terjadi ketika pemerintah kabupaten Kaur memberikan izin Hak Guna Usaha kepada PT. Ciptamas Bumi Selaras pada 2013. Tanpa sepengetahuan warga Kulik Sialang, tanahnya dikapling menjadi konsesi perkebunan.

Perusahaan milik Ciputra Grup ini mengantongi izin HGU seluas 4164 hektar dengan tiga izin HGU : (1) 131/HGU/BPN RI/2013 ; (2) 01/HGU/BPN.17/2015 ; dan (3) 07/HGU/KEMATR-BPN/2016 di kecamatan Nassal dan Maje, kabupaten Kaur. Tetapi secara umum perusahaan ini mengantongi izin pencadangan dan Izin Lokasi seluas 9.875 Hektar.

Dusun Kulik Sialang, desa Muara Dua dipaksa melalui dua rezim ekstraksi. Tahun 1970-an rezim eksploitasi kayu alam, dengan diterbitkannya izin Hak Pemamfaatan Hutan (HPH) untuk PT. Bengkulu Raya Timber (PT. BRT). Masuk dan beraktivitasnya perusahaan ini secara langsung membuka akses jalan ke dusun dan wilayah-wilayah lain sekitar konsesi mereka. Terbukanya akses membuat semakin banyak masyarakat yang masuk ke dusun. Setelah PT. Bengkulu Raya Timber, eksploitasi kayu dilanjutkan oleh PT. Inhutani V dan pada 2002 dilanjutkan dengan PT. Semaku Jaya Sakti. Perusahaan-perusahaan ini bukan hanya mengahabiskan hutan di kabupaten Bengkulu Selatan dan kabupaten Kaur, tetapi melakukan ilegal logging di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).

2013, masuknya PT. Ciptamas Bumi Selaras memulai rezim perkebunan kelapa sawit. Warga tidak tahu dengan pasti, kedepan izin-izin apalagi yang akan diberikan pengurus negara kepada para pemilik modal. Dua hal yang pasti, pertama, apa yang dialami oleh warga memberikan gambaran seolah-olah ruang yang akan dibebani izin adalah ruang yang hampa, tidak berpenghuni, tidak ada kehidupan. Kedua, penerbitan izin tidak lahir dari ruang yang hampa. Ada tali-temali kepentingan, ekonomi dan politik didalamnya.