Oleh :Uli Arta Siagian

  1. Hutan Bukit Barisan Dalam Narasi Ekologis.

Hutan Sumatera yang membentang di sepanjang pegunungan Bukit Barisan merupakan infrastruktur ekologis yang menjamin keberlanjutan hidup seluruh makhluk. “Tulang Punggung” adalah istilah yang tepat untuk menggambarkan hutan Bukit Barisan. Sama seperti tulang punggung pada tubuh manusia, tulang punggung sumatera menjadi penentu tegak atau robohnya Sumatera. Hutan Bukit Barisan menopang tubuh sumatera.

Hutan Bukit Barisan menjadi sumber air dari seluruh sungai besar yang ada di sumatera. Sungai-sungai yang bermuara ke pantai barat (samudera Hidia) dan pantai timur (selat Malaka). Mengatur tata air, siklus karbon, perlindungan dari kerentanan bencana. Hutan Bukit barisan juga menjadi rumah beragam jenis fauna dan flora.

Hutan sumatera juga merupakan situs pengetahuan dan pengalaman masyarakat yang sejak dahulu hidup berdampingan langsung dengan hutan. Pengetahuan dan pengalaman itu yang mampu membuat mereka hidup seimbang dengan alam. Secara khusus relasi antara perempuan dengan hutan. Hutan sebagai “rumah” pengetahuan dan pengalaman perempuan. Hingga saat ini di banyak wilayah, hutan masih dijadikan tempat meramu oleh perempuan. Hasil meramu tersebut dapat memenuhi kebutuhan subsistensi keluarga mereka. Juga pengetahuan terhadap tumbuhan lokal yang berfungsi sebagai obat. Semua pengetahuan dan pengalaman tersebut tumbuh bersama antara perempuan dan hutan.

Narasi ekologis ini dapat berbalik menjadi narasi bencana jika salah urus. Paradigma terhadap hutan yang keliru dengan menempatkannya sebagai basis material ekstraksi untuk menghasilkan komoditi global adalah titik balik dari salah urus terhadap hutan itu sendiri. Paradigma itu kemudian menjadi landasan praksis dari proses penghancuran hutan. Akumulasi dari proses tersebut menghasilkan apa yang disebut dengan bencana ekologis.

  1. Pembabakan Penghabisan Hutan Berbasis Modal

Mendedah proses penghabisan hutan Indonesia secara umum dan hutan Sumatera secara khusus tidaklah bisa dilihat secara parsial. Persoalan ini memiliki dimensi waktu yang panjang serta konsekuensi dalam setiap pembabakannya.

Van Vollenhoven (dalam Orang Indonesia dan Tanahnya;1923) menguraikan bagaimana kondisi agraria termasuk hutan zaman kolonialisasi, bagaimana Domeinverklaring (pernyataan domein) yang dideklarasikan pemerintahan Belanda pada 1870 di Jawa dan Madura menyatakan bahwa semua tanah yang orang lain tidak dapat menunjukan bukti eigendom atas tanah nya berarti tanah itu adalah domein (milik) negara. Pernyataan ini tertuang dalam pasal 1 Undang-undang Agraria/ Agrarisch Besluit (Staatsblad 1870 No. 118). Hal ini mengakibatkan seluruh tanah milik rakyat degan hak apa saja kecuali hak eigendomnya adalah milik negara (landsdomein).

Dengan kata lain, pemerintah Belanda yang memiliki pengaruh kuat di Indonesia memiliki kuasa untuk mengatur tanah domein (Landsdomein) dan menjadikannya sebagai komoditi.  Para koloni banyak membuka perkebunan skala besar (onderneming) dan pertambangan. Rakyat Indonesia dijadikan sebagai buruh di perkebunan dan pertambangan tersebut.

Lalu di zaman orde baru, pintu investasi terbuka lebar. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing, Undang-undang No 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan  dan Undang-undang Nomor 11 tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri menjadi satu paket peraturan pengusahaan sumber daya alam diterbitkan oleh rezim otoriterianisme dan militerialisme ini. Atas nama pembangunan, pengusahaan berubah menjadi penguasaan. Konglomerasi antara keluarga cendana dengan pengusaha multinasional menguat.

Medio 1965 hingga 1997 diperkirakan sekitar 40 juta hingga 50 juta ha hutan Indonesia yang hilang akibat penebangan, pertambangan Hak Penguasahaan Hutan, konversi untuk lahan pertanian, proyek-proyek pembangunan infrastruktur dan transmigrasi.[1] Ini adalah babak pertama dalam penghabisan hutan melalui skema Hak Pengushaaan Hutan (HPH).

Runtuhnya rezim orde baru, berlakunya rezim reformasi bahkan hingga saat ini, eksploitasi sumber daya alam tetap terus berlangsung.  Proses desentralisasi sangat dipengaruhi oleh kondisi politik lokal yang ada di daerah. Sehingga rezim desentralisasi hanya mengganti keotoriteran  politik nasional dalam mengambil keputusan (Policy Making)  menjadi keotoriteran politik lokal dalam mengambil keputusan. Keberadaan rakyat untuk menentukan pilihan menerima atau menolak adanya ekspansi industri ekstraktif  di ruang hidupnya dinegasikan. Jika pun ada dinamika dalam proses pengambilan keputusan tersebut akan sarat dengan kepentingan segelintir orang, kroni pemimpin daerah, ataupun kepentingan pribadi dan keluarga pemimpin daerah tersebut.[2]

Rezim ekstraksi dalam bentuk HPH bergeser pada rezim pertambangan dan perkebunan monokultur skala besar, terkhususnya sawit. Massifnya penerbitan izin bukan hanya di atas ruang hidup rakyat, tetapi juga di atas hutan Indonesia. Penerbitan izin secara serampangan mengakibatkan tumpang tindih izin berbasis lahan di Indonesia.

Saat ini berdasarkan data yang diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Maret 2019, seluas 32,7 juta hektar hutan Indonesia telah dibebani izin. Catatan WALHI mengungkapkan sebanyak 2115 entitas perusahaan yang mengkapling hutan Indonesia. Kencangnya laju investasi modal berbasis ekstraktivisme ini dilanggengkan dengan regulasi serta kebijakan yang diproduksi oleh negara. Mulai dari undang-undang sektoral tentang Kehutanan, Perkebunan, Pertambangan beserta dengan perturan turunannya, seperti Instruksi Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah.

Selain regulasi kehutanan yang secara legal memberi karpet merah bagi para pemodal, seperti izin pinjam pakai kawasan untuk pertambangan, pelepasan hutan secara parsial, izin HPH dan HTI, revisi tata ruang juga menjadi momentum untuk memutihkan pelanggaran kehutanan yang terjadi.

Pada 2012, disaat hampir seluruh wilayah di Indonesia melakukan revisi tata ruang, secara nasional seluas 3 juta hektar hutan yang telah diubah menjadi kebun sawit tanpa izin, kemudian dilepaskan melalui revisi tata ruang.[3] Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, sebagai bentuk “penyelesaian keterlanjuran”. Praktik ini menjadi langgam penghabisan hutan untuk aktivitas ektraktif berbasis modal.

Kebijakan pembangunan hutan Indonesia dalam dua puluh lima tahun kedepan masih belum bisa melepaskan paradigma hutan sebagai basis material ekstraksi untuk menghasilkan komoditi global. Hal itu tergambar dalam roadmap pembangunan hutan Indonesia hingga 2045, yang berorientasi menguasai pasar dunia. Tidak ada cara pandang baru dari negara dalam memandang hutan. Melihat hutan sebagai komoditi akan menghabiskan hutan dalam waktu yang tidak lama.[4]

 

III. Politik Kehutanan Bengkulu : Siapa yang Membutuhkan?, Siapa yang Diuntungkan?

Secara umum telah dijelaskan diatas bagaimana pembabakan penghabisan hutan Indonesia berbasis modal. Dimana hutan sebagai infratruktur ekologis diposisikan tidak lebih dari sekadar komoditi yang layak untuk dieksploitasi.

Bagian ini akan menjelaskan bagaimana politik kehutanan di Bengkulu. Secara spesifik mendedah bagaimana korporasi menunggangi kebijakan revisi hutan, sehingga akan memperbesar ketimpangan penguasaan ruang antara rakyat dan korporat serta mempercepat turunnya kualitas ekologis sebagai akibatnya.

Hutan Bengkulu mencapai 46% dari luas keseluruhan wilayah darat provinsi Bengkulu. 924 ribu hektar dari 1,9 juta hektar wilayah provinsi Bengkulu adalah kawasan hutan. Kawasan hutannya memanjang di bagian selatan Bukit Barisan dari Lampung hingga Sumatera Barat. Berdasarkan Fungsi, klasifikasi kawasan hutan Bengkulu : Hutan dengan fungsi  konservasi;  Cagar Alam,  Taman Nasional Kerinci Seblat dan Bukit Barisan Selatan seluas 462.965 hektar.  Hutan dengan fungsi lindung seluas  250.750 hektar, hutan produksi terbatas seluas 173.280 hektar, hutan produksi tetap  25.873 hektar serta hutan produksi yang dapat di konversi seluas 11.763 hektar.

Hutan Bengkulu telah melalui tiga rezim ektraksi, pertama rezim logging kayu melalui izin HPH di tahun 70 an hingga 90 an. Kedua, rezim perkebunan sejak tahun 90 an hingga saat ini. Ketiga, rezim pertambangan minerba yang massif sejak 200o an hingga sekarang. Corak penguasaan hutan di Bengkulu sama dengan corak penguasaan hutan secara nasional. Dilanggengkan melalui regulasi juga kebijakan.

Proses penguasaan sekaligus penghabisan hutan Bengkulu saat ini sedang memanfaatkan momen revisi tata ruang. Para kepala daerah di level kabupaten dan provinsi tidak melewatkan momen strategis tersebut. Khususnya juga para pemodal yang mengingkan kawasan hutan Bengkulu.

Gubernur Bengkulu mengusulkan seluas 53 ribu kawasan hutan Bengkulu untuk dilepaskan. Gubernur beserta para bupati dari masing-masing wilayah pengusul juga telah melakukan “ekspose Gubernur Bengkulu Dalam Rangka Usulan Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan Dalam Revisi RTRW Provinsi Bengkulu” di Manggala Wanabakti pada 20 Agustus 2019.

NO. KABUPATEN / KOTA Luas Usulan (Ha)
                1 Kota Bengkulu                588,88
                2 Mukomuko          12.416,58
                3 Bengkulu Utara          22.671,00
                4 Bengkulu Tengah            5.267,00
                5 Rejang Lebong            1.625,40
                6 Kepahiang            1.504,05
                7 Lebong            1.495,27
                8 Seluma            4.644,50
                9 Bengkulu Selatan                  61,00
              10 Kaur            2.764,00
JUMLAH          53.037,68

 

Korporasi yang Akan diuntungkan Dari Proses Pelepasan Hutan.

Proses pelepasan hutan melalui revisi tata ruang ini sarat dengan kepentingan korporasi. Seluas 21.412 ha atau 40% kawasan yang diusulkan tumpang tindih dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan kelapa sawit. Selain itu, seluas 15.000 hektar atau 28% kawasan hutan yang diusulkan, sebelumnya pernah dibebani izin usaha pertambangan.[5]

Melalui usulan ini setidaknya ada sembilan perusahaan yang akan mendapatkan keuntungan langsung. 5 perusahaan perkebunan sawit yaitu (1) PT. Agromuko, total luasan 1884 hektar; (2) PT. Alno Agro Utama, total luasan 468 hektar; (3) PT. Sandhabi Indah Lestari, total luasan 600 hektar; (4) PT. Daria Dharma Pratama; dan (5) PT. Mitra Puding Mas, total kawasan 121 hektar.

Empat perusahaan pertambangan, yaitu (1) PT. Inmas Abadi total luasan 2650 hektar; (2) PT. Bumi Arya Syam dan Syah dengan total luasan 2846 hektar ; (3) PT. Ratu Samban Mining seluas 663 hektar; dan (4) PT. Kusuma Raya Utama.

Selain perusahaan yang akan mendapatkan keuntungan secara langsung dari proses revisi hutan tersebut, ada tiga perusahaan tambang batu bara secara tidak langsung akan diuntungkan. Ketiga perusahaan itu adalah (1) PT. Bara Mega Quantum; (2) PT. Ratu Samban Mining; dan(3) PT. Bara Indah Lestari.

Usulan Pelepasan Mendompleng Kebutuhan Rakyat.

Narasi pelepasan hutan Bengkulu dibangun begitu populis oleh pemerintah. Kebutuhan rakyat atas kawasan hutan sebagai ruang hidupnya menjadi legitimasi kenapa pelepasan hutan Bengkulu menjadi sangat penting dan harus segera dieksekusi. Faktanya tidak lebih dari 40% kawasan-kawasan yang diusulkan itu mengakomodasi kebutuhan rakyat. Bahkan di beberapa wilayah yang kawasan hutan diusulkan, masyarakat tidak mengetahui adanya usulan pelepasan hutan.

Skenario nya sederhana, sebagai contoh usulan pelepasan di empat desa enclave di kabupaten Seluma. Perladangan rakyat serta percepatan pembangunan desa Lubuk Resam, Sekalak, Sinar Pagi dan dan Talang Empat, dijadikan alasan untuk melepaskan seluas 3375 hektar kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Bukit Badas. Padahal keempat wilayah desa tersebut dan kawasan hutan Bukit Badas telah dikapling oleh izin pertambangan batu bara, yaitu : PT. Ratu Samban Mining, IUP PT. Bara Indah Lestari, PT. Bumi Arya Syam dan Syah Resources.

Begitu juga di kabupaten Bengkulu Utara, untuk melepaskan TWA Seblat dan HPT Lebong Kandis pemerintah memakai pemukiman transmigrasi di wilayah Air Kuro sebagai legitimasi pelepasan kawasan ini. Namun pada faktanya pemukiman transmigrasi tersebut telah dibebani oleh izin usaha pertambangan (IUP) dengan tahap operasi produksi milik PT. Inmas Abadi.

Di Bengkulu Tengah juga terjadi hal yang sama, alasan untuk melepaskan kawasan Taman Buru (TB) Semidang Bukit Kabu adalah adanya pemukiman dan lahan garapan masyarakat yang sudah turun temurun (desa Kota Niur, Pagar Gunung dan Pagar Siring), faktanya di atas kawasan tersebut telah beroperasi tambang batu bara, PT. Kusuma Raya Utama secara underground.

Setelah kawasan-kawasan hutan tersebut dilepaskan, maka akan ada kekosongan kuasa pada wilayah tersebut. Rakyat secara de jure belum memiliki alas hak atas kawasan, sedangkan perusahaan telah memiiki izin usaha atas wilayah tersebut. Negara hanya memindahkan konflik, awalnya rakyat berkonflik dengan negara karena ruang hidup mereka ditetapkan menjadi kawasan hutan negara, kemudian setelah dienclave, rakyat berkonflik dengan perusahaan. Bahkan konflik antara rakyat dan korporasi cenderung lebih berbahaya, karena kemungkinan perampasan tanah, kriminalisasi serta konflik horizontal akan sangat mungkin terjadi.

Pelepasan Hutan dan Ongkos Politik.

Selain perusahaan-perusahaan tersebut, aktor yang akan mendapatkan keuntungan dari proses pelepasan hutan ini adalah kepala daerah, baik bupati maupun gubernur Bengkulu. Momen revisi kawasan hutan melalui tata ruang ini tentu tidak akan dilewatkan begitu saja oleh para elit daerah, apalagi di tahun-tahun menjelang kontestasi politik seperti saat ini.

2020 pemilihan kepala daerah tingkat provinsi akan berlangsung, termasuk di beberapa kabupaten. Jika melihat tabel wilayah pengusul diatas, kabupaten pengusul terluas adalah kabupaten yang akan melangsungkan pemilihan kepala daerah pada 2020 nanti. Kabupaten tersebut adalah Mukomuko, Bengkulu Utara dan Seluma. Maka tidak berlebihan jika pelepasan hutan tersebut diduga sebagai kerja ijon untuk ongkos politik.

Sebab mahalnya ongkos politik Indonesia sudah menjadi rahasia umum. Kajian Litbang Kemendagri menyatakan bahwa untuk menjadi bupati/walikota dibutuhkan biaya mencapai 20-30 Milyar, sementara untuk menjadi gubernur berkisar 20-100 milyar. Besarnya ongkos politik tersebut tidak seimbang dengan kemampuan finansial yang dimiliki oleh para calon kepala Daerah.[6]

Pada titik inilah ideom “tak ada makan siang yang gratis” berlaku. Situasi ini memperjelas bahwa praktik penguasaan hutan, serta percepatan ekspansi modal tidak lepas dari urusan politik.

Narasi Ekologis Berubah Menjadi Narasi Bencana Ekologis.

Percepatan modal yang berwujud industri ekstraktif dan percepatan turunnya fungsi layanan alam adalah keniscayaan. Banjir dan longsor disaat hujan, serta kekeringan disaat kemarau adalah konsekuensi logis dari hilangnya tutupan hutan di Bengkulu.

Bencana ekologis banjir pada 27 April 2019 lalu yang melanda hampir seluruh wilayah di provinsi Bengkulu adalah penanda yang tak terbantahkan dari turunnya fungsi ekologis hutan sebagai pengatur tata air.

Pelepasan hutan yang tengah berlangsung saat ini juga mengesampingkan keselamatan ekologis dan kesiagaan bencana. Beberapa kawasan menjadi hulu Daerah Aliran Sungai (DAS). Selain itu juga menjadi koridor dan habitat satwa kunci harimau sumatera dan gajah sumatera. Maka jika kawasan tersebut dilepaskan, kostalasi konflik antara satwa dan masyarakat akan terus meningkat.

[1] Down To Earth; Mei 2008 bisa diakses di http://www.downtoearth-indonesia.org/id/story/warisan-suharto

[2] Politik Lokal Dalam Perspektif State Society Relation:Pemekaran Daerah , Pilkada, dan “pergeseran relasi” Antar Elit; Jurnal Desentralisasi Volume 8 No.5, 2010

[3] Dokumen PUBLIC REVIEW TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KAWASAN HUTAN (PP 60/2012 dan PP 61/2012); oleh ICW.

[4] Dokumen Draf Masterplan Redesign Pembangunan Hutan Indonesia Oleh Bappenas.

[5] Hasil analisis Genesis Bengkulu yang dipublikasikan melalui Lembar Fakta 12 Perusahaan Menunggangi Revisi Kawasan Hutan Bengkulu;2019.

[6] Kajian KPK “Laporan Studi Potensi Benturan Kepentingan Dalam Pendanaan Pilkada; Pilkada Serentak 2015”