Kerutan di wajah mak ompong terus bertambah, usianya semakin menua. Meski begitu, ingatannya tentang perjuangan mempertanahkan tanah dan keselamatan ruang hidup dari aktivitas pertambangan pasir besi masih melekat kuat. Jika ia diminta untuk menceritakan bagaimana tiga belas tahun lalu mereka mengusir perusahaan tambang, bagaimana mereka mendesak bupati dan gubernur untuk mencabut izin perusahaan dan bagaimana beraninya berhadapan dengan aparat kepolisian, mak ompong dengan sangat bersemangat untuk menceritakannya, sekaligus ia akan terus mengelus dada. “Kalo polisi mulai dekat dan mencoba kasar, kami tangkok[1] burung nyo, kami buka baju, kami meluk[2] masjid, kami nari di depan polisi, kami demo panas-panas dengan perut lapar” mak ompong akan ceritakan itu semua. Strategi itu tidak pernah diajarkan kepada mereka. Mereka menemukan strategi mereka sendiri untuk bertahan dan berlawan.

Empat tahun berjuang, perusahaan tambang pergi, meski izin tidak pernah dicabut oleh pemerintah. Saat ini ada dua izin operasi produksi tambang pasir besi di kampung mereka, yaitu PT. Faminglevto Baktiabadi yang diterbitkan bupati Seluma pada 2010 lalu dan akan habis pada 2030, dan PT. Belindo Inti Alam yang diterbitkan sejak 2004 dan akan berakhir pada 2024. Tiga belas tahun mereka hidup dengan bayang-bayang gelap tambang pasir besi.

Tahun lalu, ketika DPR telah mengesahkan UU Mineral dan batu bara yang baru dan pengurus negara sibuk membahas omnibus law, UU Cipta Kerja, mak ompong dan perempuan lainnya belajar bersama tentang undang-undang ini. Tentang apa yang negara dan pemodal renggut dari hidup mereka melalui UU Miberba dan UU Cipta Kerja.

“Perusahaan ndak nambang lagi?, demo lagi kito. Aku la tuo, masih harus demo[3]”, kata mak ompong, ketika padanya diceritakan mengenai tambang yang kapan saja dapat beroperasi, dan negara membuka pintu itu lebar-lebar.

Bukan hanya mak ompong yang meradang, ibu Mariyem, ibu Meli dan ibu-ibu yang lain juga. “Kenapa negara gak pernah buat hidup kita tenang?” kata ibu Meli. Meli, tiga belas tahun yang lalu, selalu membawa anaknya, Agung saat itu berusia satu tahun untuk berdemonstrasi. Ditengah-tengah massa aksi, Meli menyusui putranya, dia sengaja membawa adiknya untuk membantunya menggendong Agung. Seperti tersambar petir dia saat tahu pemerintah mengobral kampung mereka yang kaya akan pasir besi melalui undang-undang yang bahkan sebelumnya tidak pernah mereka dengar. Satu pelajaran yang sangat penting bahwa negara memang tidak pernah menghargai kehidupan rakyatnya.

Membicarakan soal tambang, seperti membuka buku catatan buruk perlakuan negara bagi Mariyem. “Hari ini pun kalau mendengar masalah tambang itu yang jelasnya tidak bisa tidur”, katanya. Sikapnya tegas hingga hari ini untuk terus melawan tambang, “Jadi saya mengajak masyarakat di seluruh dan dimanapun berada, kita usir tambang ini”. Menjalani hidup di kampung yang terkepung tambang dan perkebunan sawit milik perusahaan, tidak lah mudah bagi mereka.

Pengalaman hidup para perempuan ini menunjukan bahwa perlakukan buruk negara kepada rakyatnya tidak pernah usai. Bahkan belakangan waktu ini perlakukan itu semakin kasar. Setelah mengkapling-kapling kampung untuk izin tambang dan sawit, tanpa sepengetahuan rakyat pemilik kampung, kini mereka menetapkan seperangkat hukum dan kebijakan yang meliberalisasi tanah, hutan dan air. Seperangkat hukum dan kebijakan yang tidak berangkat dari kebutuhan rakyat, khususnya perempuan. Perampasan tanah, rusaknya sungai, tidak bisa lagi meramu di hutan, kekerasan dalam rumah tangga akibat ekonomi yang semakin buruk, kriminalisasi oleh perusahaan dan aparat negara adalah kabar buruk yang akan terus-menerus di dengar.

Bahkan berita bencana, banjir, longsor, krisis air bersih, krisis pangan juga akan semakin sering diberitakan kedepan hari. Perempuan akan menanggung beban lebih berat dari itu semua. Sebab, mereka aktor kunci dari kerja-kerja produksi dan reproduksi sosial. Tangan mereka menjaga kehidupan.

Mak ompong, ibu Mariem dan ibu Meli tidak lagi muda usianya. Tetapi semangatnya mempertahankan tanah, ruang hidup dan masa depan keluarganya tidak pernah menua. Sebagaimana negara yang tidak pernah usai berlaku buruk kepada mereka, perlawanan mereka juga tidak pernah usai. Keberanian dan ketangguhan mereka hendaknya menginspirasi perempuan lainnya untuk terus melawan struktur yang tidak adil. Selama struktur yang tidak adil itu masih ada, perlawanan terhadapnya tidak pernah usai. Berdiri bersama, bersolidaritas, saling menguatkan dan saling menjaga adalah langgam gerakan perempuan dalam berlawan.

 

Ditulis Oleh Uli Arta Siagian, Direktur Genesis Bengkulu.

Tulisan ini saya buat untuk merayakan hari perempuan internasional, sekaligus untuk menghormati keteguhan perempuan dalam perjuangannya. Saya sengaja memotret perjuangan mak ompong, bu Mariem dan bu Meli dalam tulisan ini untuk menunjukan ketidakhormatan negara pada rakyat, khususnya perempuan yang tidak pernah usai. Perlawanan mak ompong, bu Mariem dan bu Meli yang tidak pernah usai juga hendaknya menggerakan perempuan lainnya untuk berjuang bersama.

[1] Tangkok adalah bahasa lokal Bengkulu artinya tangkap.

[2] Meluk artinya memeluk.

[3] Artinya Perusahaan mau menambang lagi?, demo lagi kita. Aku sudah tua, masih harus demo.