Keterwakilan peserta dari Komunitas Desa, Penggiat Seni, Mahasiswa, NGO, dan Lembaga Bantuan Hukum hadir dalam Lokakarya Gugatan Anti- STRATEGIS TERHADAP PARTISIPASI PUBLIK (SLAPP) yang diadakan oleh Genesis Bengkulu pada 24 maret 2022. Kegitan ini ditujukan untuk pejuang HAM dan lingkungan di Bengkulu bersama Muhammad Busyol Fuad, Menejer Advokasi ELSAM sebagai pematerinya. Tak hanya Fuad, dalam kegitan ini genesis menghadirkan 2 orang narasumber dari komunitas di akar rumput. Narasumber tersebut adalah Salikin, kepala desa Penago Baru dan helda, ketua kelompok perempuan beremis desa pasar seluma. Keduanya tergabung dalam Forum Masyarakat Pesisir Barat Seluma.

Bersama Fuad, peserta memahami SLAPP dan Gugatan Anti-SLAPP untuk Pembela HAM dan Lingkungan. Fuad menjelaskan bahwa SLAPP merupakan segala tindakan yang bertujuan untuk melemahkan perjuangan atau semangat dari setiap pembela HAM dan pembela HAM atas lingkungan, seperti bentuk kriminalisasi yang dilakukan pemerintah, aparat, dan perusahaan terhadap pembela HAM dan lingkungan. Sasaran yang dituju adalah hilangnya partisipasi publik.

Mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat adalah Hak Asasi Manusia, ini tercantum dalam undang-undang dasar 1945 pasal 28 H ayat 1. Sehingga, apabila seseorang itu adalah pejuang lingkungan maka dia adalah pembela HAM. Hak Asasi Manusia yang seharusnya dihormati, diakui, dan dipenuhi oleh negara, namun dengan hadirnya banyak pejuang lingkungan dan pembela HAM adalah bukti bahwa negara tidak mampu menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya.

Dalam pemaparannya, Fuad menyampaikan data pada pahun 2018 bahwa ELSAM melakukan monitoring terkait situasi dan tantangan yang di hadapi oleh Pembela HAM dan pejuang lingkungan. Ditemukan begitu banyak tantangan berupa ancaman, serangan, ataupun berupa tindakan-tindakan pemerkaraan hukum. Beberapa pasal yang sering kali digunakan oleh Pemerintah, Aparat Penegak Hukum, dan juga Perusahaan dalam meredam perjuangan atau mengkriminalisasi para pejuang HAM dan lingkungan, seperti : Pasal 162 Undang Undang No 3 Tahun 2020 tentang Minerba, Pasal 170 KUHP tentang Pengeroyokan/penyerangan, Pasal 160 KUHP tentang Penghasutan, Pasal 406 KUHP tentang Pengrusakan, Pasal 1365 tentang Perbuatan melawan hukum, dan sebagainya.

Di Bengkulu, tantangan berupa ancaman, serangan, ataupun berupa tindakan-tindakan pemerkaraan hukum juga dihadapi pejuang lingkungan. Kebanyakan dari perjuangan mereka adalah melakukan perlawanan terhadap perusahan dan aparat yang merebut dan merusak ruang hidup dan sumber daya alam mereka. Perlawanan ini lahir dari ketimpangan penguasaan lahan sebagai dampak hadirnya perusahaan skala besar berbasis industri ekstraktif di Bengkulu yang merusak dan menghilangkan ruang hidup masyarakat. Provinsi Bengkulu dengan luasan daratan non hutan 1,06 juta HA, seluas 108 ribu HA telah dikapling oleh izin perkebunan sekala besar dan seluas 111 ribu HA dikapling izin pertambangan. Sehingga, wilayah non hutan Provinsi Bengkulu hanya tersisa 847 ribu HA yang diperebutkan oleh 2,01 juta jiwa atau setiap jiwa hanya kebagian 0,44 HA. Ketimpangan ini memposisikan lahan pertanian masyarakat dalam bayang-bayang perampasan, pengrusakan, penebangan hingga pengerukan.Ini dialami oleh masyarakat empat desa Kecamatan Taba Penanjung, Bengkulu Tengah, hingga kriminalisasi terhadap 6 orang warga pasar seluma dalam aksi menolak tambang pasir besi PT. Famiaterdio Negara dan sebagainya. Informasi ini dipaparkan direktur Genesis, Egi Ade Saputra beberapa waktu sebelum Fuad memaparkan materinya.

Setelah selesai berdiskusi mengenai:
a. Apa dan siapa itu Pembela HAM dan Pembela HAM atas Lingkungan,
b. Bagaimana situasi Pembela HAM dan Pembela HAM atas Lingkungan,
c. Apa itu SLAPP,
d. Ancaman-ancaman Pemerkaraan Hukum,
e. Strategi dan Taktik dalam menghadapi Kasus SLAPP.

Selanjutnya kedua narasumber dari komunitas akar rumput menuturkan pengalaman mereka selama menjadi pejuang lingkungan. Salikin, Kepala Desa Penago Baru yang tergabung dalam Rorum Masyarakat Pesisir Barat Seluma, mengaku bahwa perjuangannya menolak tambang yang dilakukan sejak tahun 2005 mendapati dirinya serangan berupa ternak dan tanaman diracuni, upaya pembunuhan, upaya penyuapan, intimidasi, kriminalisasi, hingga diminta paksa berhenti menjadi Kades dan tuduhan korupsi. Sementara Helda, Ketua Kelompok Perempuan Beremis yang secara bersama-sama membangun gerakan perempuan untuk menolak tambang sejak 2010 hingga sekarang, mengalami pembubaran aksi secara paksa dan penagkapan yang tidak manusiawi oleh pihak aparat, percobaan pencurian peralatan pertambangan oleh pihak tak dikenal, ancaman akan dipenjarkan atas tuduhan pencemaran nama baik, intimidasi, serangan psikologis bahkan terjadi penangkapan 6 warga dengan 8 bulan penjara pada tahun 2010.

Fuad menegaskan bahwa pemberantasan kasus SLAPP memerlukan mekanisme anti SLAPP yang cepat dan efektif, SLAPP harus dilawan sedini mungkin. Beberapa aturan yang menjadi pendukung dalam menghadapi kasus SLAPP yaitu Pasal 66 Undang-Undang No 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolahan dan Perlindungan Lingkungan Hidup dan ada SK Ketua MA No. 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup.

Di akhir sesi lokakarya yang berlangsung dari pukul 09.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB ini, Egi secara tegas menerangkan bahwa yang kita butuhkan sekarang bukan berharap kepada negara, karena negara tidak mampu untuk melindungi hak-hak kita sebagai rakyatnya. Maka yang dapat kita lakukan sekarang adalah melakukan penguatan dan penyadaran terhadap sesama kita (masyarakat) ataupun keluarga sekitar kita akan pentingnya menjaga lingkungan hidup, mempertahankan tanahnya dan sebagainya.