“Forest Amnesty” istilah baru di Indonesia yang diperkenalkan oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2019. Forest Amnesty diadopsi dan dimodifikasi dari program Tex Amnesty diartikan sebagai bentuk pengampunan pajak. Begitu juga dengan istilah Forest Amnesty yang diartikan sebagai penghapusan dosa dalam kawasan hutan.

Forest Amnesty digagas untuk menyelesaikan konflik tunarial masyarakat yang menggarap lahan pertanian di dalam kawasan hutan. Selain itu, bertujuan untuk mengeluarkan pemukiman, fasilitas umum, dan fasilitas sosial yang berada didalam kawasan hutan.

Berdasarkan Pasal 6 Ayat  (1) PerPres No 88 Tahun 2017 Tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan, Forest Amnesty atau keterlanjuran dalam kawasan hutan diberlakukan  untuk pihak perorangan, instansi, badan sosial/keagamaan dan masyarakat hukum adat.

Penyelesaian konflik tunarial atau Forest Amnesty dilakukan dengan pola yang mengacu pada PerPres No. 88 Tahun 2017 Tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan, menggunakan pola penyelesaian perubahan batas kawasan hutan dan Ressetlement atau pemindahan penduduk dari kawasan hutan ke luar kawasan hutan.

Sejak tahun 2019, Indonesia tengah melakukan proses penyelesian beckground study dan penyusunan rancangan teknokratis Rencana Pembangunan Jangka Menegah Nasional (RPJMN) Bidang Kehutanan 2020-2024.Situasi ini dimanfaatkan oleh seluruh kepala daerah termasuk Gubernur Bengkulu untuk Forest Amnesty atau penyelesaian konflik tunarial dalam kawasan hutan melalui Usulan Perubahan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan tahun 2019.

Di dalam surat usulannya Nomor 522/011/DLHK/2019, Gubernur Bengkulu menguslkan perubahan peruntukan dari kawasan hutan menjadi non hutan (Areal Peruntukan Lain) seluas 53.037,68 hektar. Jika kita melihat pada surat usulan Gubernur Bengkulu tahun 2019, kita akan menemukan secara jelas beberapa perusahaan yang diperkirakan akan mendapatkan keuntungan di dalam penurunan fungsi kawasan hutan menjadi non hutan. Diantaranya:

No Nama Perusahaan Terhadap Kawasan Hutan Kabupaten Luasan Usulan (ha)
1 PT. Daria Dharma Pratama HPT Air Ipuh II Mukomuko 4.000,00
2 PT. Agromuko HPK Air Majunto Mukomuko 1.692,49
3 PT. Agromuko HPT Air Majunto Mukomuko 57,10
4 PT. Alno Agro Utama HPT Air Ipuh I Mukomuko 232,00
5 PT. Aggra Persada HPT Air Ipuh II Mukomuko 232,00
6 PT. Alno Agro Utama HPT. Lebong Kandis Bengkulu Utara 238,00
7 PT. Sandabi Indah Lestari HPK Air Bintunan Bengkulu Utara 600,00
8 PT. Mitra Puding Mas TWA Seblat Bengkulu Utara 131,00

 

Gambar 1:  Salah satu isi usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan untuk kepentingan Oligarki

Semua daftar ini secara jelas dituliskan di dalam surat Usulan Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan yang dikirimkan oleh Gubernur Bengkulu kepada Mentri LHK RI pada 8 Januari 2019. Ini menguat dugaan program Forst Amnesty dimanfaatkan untuk penghapusan dosa para Oligarki Perkebunan Sawit.

Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan pasal 2 PP No 104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, bahwa perubahan dan fungsi kawasan hutan dilakukan untuk dinamika pembangunan nasional serta aspirasi masyarakat dengan tetap berlandaskan pada optimalisasi distribusi fungsi dan manfaat kawasan hutan.

Seharusnya korporasi Perkebunan Sawit tersebut ditindak secara hukum, karena perbutan tersebut telah melakukan pengrusakan terhadap kawasan hutan yang melanggar ketentuan UU No 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kawasan Hutan.

Kegiatan perkebunan didalam kawasan hutan yang telah dilakukan oleh Perkebunan Sawit, seharunya dijerat dengan sanksi pidana sesuai Pasal 92 Ayat (2) UU No 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kawasan Hutan, dipidana penjara paling singkat 8 tahun dan paling lama 20 tahun serta pidana denda paling sedikit 20 milyar dan paling bayak 50 milyar.

Penindakan secara hukum terhadap perusahaan yang melakukan kegiatan perkebunan dalam kawasan hutan telah jelas diatur dalam UU No 18 Tahun 2013. Tetapi entah apa yang merasuki Gubernur dan para Bupati hingga Forest Amnesty yang diberikan kepada perusahaan sawit tersebut.

Padahal jika dilakukan grouncek lapangan pada wilayah perkebunan yang masuk dalam usulannya Gubernur Bengkulu, kita akan menemukan perkebunan yang terawat dengan akses jalan yang memadai untuk dilewati mobil pengangkut buah, tersedianya informasi Blok panen, tersediannya TPH (Tempat Pengumpulan Hasil) bahkan tersedianya rumah para pekerja.

Gambar 2: Salah satu temuan perkebunan yang terawat

Gambar 3: Salah satu akses jalan memadai

Gambar 4:  Salah satu papan blok panen perkebunan

Gambar 5: Salah satu TPH di area perkebunan didalam kawasan hutan

Gambar 6: Perumahan para pekerja

Temuan ini membuktikan bahwa kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan adalah dilakukan dengan sengaja. Bahkan, meskipun belum adanya penurunan status pada kawasan hutan tersebut, hingga saat ini masih ditemukan adanya aktivitas perkebunan di areal perkebunan tersebut seperti pemanenan buah sawit.

Gambar 7: Salah satu temuan brondolan buah sawit yang dikumpulkan dalam karung

Gambar 8: Salah satu temuan TBS dipinggir jalan perkebunan didalam kawasan hutan

Karnanya tidak semistinya pejabat dari bupati hingga gubernur memberikan Forest Amnesty kepada korporasi melainkan sanksi pidana harus diberlakukan untuk memberikan efek jera dalam upaya pencegahan kerusakan kawasan hutan kedepannya.

Jelasnya pelangggaran yang dilakukan oleh korporasi namun mendapatkan Forst Amnesty, Genesis Bengkulu menduga adanya bagi-bagi kompensasi dibalik semua ini.

Saat ini Tim Terpadu telah melakukan penilaian terhadap wilayah-wilayah kawasan hutan yang usulan Gubernur Bengkulu. Jika pelepasan tersebut ter- realisasi, maka jelas pemerintah dan aturan perundang-undangan yang berlalu tidak ber-Taji dihadapan Oligarki.