Usulan pelepasan hutan yang disampaikan Gubernur Bengkulu kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHS) seluas 53 ribu hektar akan mempercepat laju kepunahan harimau dan gajah Sumatera. Seluas 11.707 hektar total luasan hutan yang merupakan rumah dan koridor satwa dilindungi tersebut diusulkan untuk dilepaskan.

Hutan tersebut adalah (1) Taman Wisata Alam (TWA) Seblat yang secara administrasi membentang di kabupaten Mukomuko dan Bengkulu Utara seluas 1931 diusulkan untuk dilepaskan dan seluas 246 hektar diturunkan status menjadi Hutan Produksi Konversi (status hutan paling rendah yang dipersiapkan untuk menjadi kawasan budidaya/bukan hutan). (2) Hutan Produksi Terbatas Air Ipuh I seluas 1232 hektar, (3) Hutan Produksi Terbatas (HPT) Lebong Kandis 1436 Hektar, (4) Taman Buruh (TB) Semidang Bukit Kabu seluas 3733 hektar  dan (4) Hutan Produksi Terbatas Bukit Badas seluas 3.375 hektar. Parahnya, pelepasan itu diperuntukan untuk pemilik modal bukan untuk rakyat. Penandanya adalah adanya izin usaha pertambangan dan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit skala besar di wilayah hutan yang diusulkan untuk dilepaskan tersebut.

Historis Status Kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Seblat “Habitat” Gajah Sumatera.

Pada 1992 di kawasan Hutan Produksi dididirikan Pusat Latihan Gajah (PLG) Seblat dengan tujuan memitigasi konflik antara manusia dan gajah di provinsi Bengkulu. Kemudian tahun 1995, Hutan Produksi dengan Fungsi Khusus (HPKh) Pusat Latihan Gajah Seblat ditunjuk melalui SK Menteri Kehutanan Nomor: 658/Kpts-II/1995 tanggal 6 Desember 1995 tentang perubahan fungsi hutan produksi terbatas seluas 4.500 ha dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 2.200 ha yang terletak di kelompok hutan Air Sabai – Air Sebelat. Pada tahun 1996 dilakukan penataan batas HPKh PLG Seblat.[1]

Tahun 1999, diterbitkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 420/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999 Tentang Penunjukkan kawasan hutan di wilayah Provinsi bengkulu seluas 920.964 ha, termasuk di dalamnya kawasan Hutan Produksi Tetap dengan Fungsi Khusus (HPKh) PLG Seblat seluas 6865 ha.[2]

Februari 2010, Gubernur Bengkulu melalui Dinas Kehutanan mengeluarkan surat Nomor : 522.12/033/Dishut perihal usulankan perubahan fungsi kawasan hutan, isi pokok surat adalah mengusulkan perubahan fungsi kawasan hutan. Pengusulan perubahan fungsi kawasan hutan ini ditengarai kepentingan izin eksploitasi PT. Inmas, pertambangan batu bara yang terbit izin Kuasa Pertambangannya tahun 2002. Usulan tersebut kemudian dipenuhi.

Berdasarkan Dokumen Laporan Tim Penelitian Terpadu Review Kawasan Hutan Berdasarkan Usulan Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bengkulu dari Kementrian Kehutanan bulan Mei 2011, Kawasan HFKh PLG (Hutan Fungsi Khusus Pusat Pelatihan Gajah)  yang memiliki luasan 7.036 hektar yang direkomendasikan perubahan status kawasan menjadi TWA (taman wisata alam) seluas 6.325 hektar (90%) dan seluas 711 (10%) menjadi HPK (hutan produksi yang dapat dikonfersi). Dijelaskan perubahan Kawasan seluas 711 hektar menjadi HPK ini untuk mengakomodir kepentingan pembangunan non kehutanan yang telah direncanakan dan telah menjadi program pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara.

Selanjutnya, untuk kepentingan perluasan habitat dan daerah jelajah gajah kemudian dalam laporan tersebut direkomendasikan kawasan hutan yang ada desebelah barat, yaitu HPT (Hutan Produksi Terbatas) Lebong Kandis register 69 sebagian diubah statusnya dari HPT  menjadi TWA dengan luasan 1.412 hektar. Sehingga total kawasan TWA untuk PLG menjadi 7.737 hektar.

Sangat disayangkan kawasan yang dilepaskan menjadi HPK merupakan daerah penting yang kondisi saat itu hutannya masih cukup baik dan menjadi habitat gajah, sedangkan kawasan HPT seluas 1.412 hektar yang dijadikan TWA merupakan lahan perambahan yang telah lama digarap masyarakat menjadi kebun kelapa sawit yang telah produktif. Keputusan menambah luasan ini bukan solusi pelestarian gajah sumatera namun akan meningkatkan konflik. Di sisi lain lahan yang sebelumnya masih relatif baik justu di turunkan status kawasan hutannya menjadi HPK (710 Ha), dan kawasan ini pun dimasukan dalam konsesi izin usaha untuk ekploitasi tambang batubara.    Pelepasan kawasan habitat gajah ini diduga untuk mengakomodir konsesi PT. Inmas Abadi.

Artinya, perubahan peruntukan kawasan hutan merupakan satu hal yang politis.

Rumah Terakhir Gajah Sumatra itu Terus Menyempit.

Taman Wisata Alam (TWA) Seblat, Hutan Produksi Terbatas (HPT) Lebong Kandis dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Air Ipuh I  merupakan bagian dari  Kawasan Ekosistem Essensial Koridor gajah Sumatera Lanskap Seblat Bengkulu yang merupakan rumah  terakhir gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus). Komitmen penyelamatan Kawasan Ekosistem Essensial ini dibuktikan dengan Surat Keputusan Gubernur Bengkulu Nomor 497. DLHK. Tahun 2017 Tentang Pembentukan Forum Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Ekosistem Essensial Koridor Gajah Sumatera Lansekap Seblat Bengkulu.

Inkonsistensi sikap gubernur kemudian ditunjukan dengan usulan pelepasan kawasan tersebut. Tepat pada kawasan yang diusulkan telah terdapat izin usaha pertambangan (IUP) atas PT. Inmas Abadi. Perusahaan ini mengantongi izin berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Bengkulu Nomor I.315.DESDM Tahun 2017, tahapan izin operasi produksi dengan luasan mencapai 4.051 hektar.  Seluas 735 hektar konsesi tumpang tindih dengan kawasan TWA Seblat, 1.915 hektar tumpang tindih dengan HPT Lebong Kandis Register 69 dan seluas 540 hektar tumpang tindih dengan Hutan Produksi Konversi (HPK) yang tidak memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). Penolakan atas terbitnya izin ini juga telah diserukan oleh kelompok masyarakat sipil sebelumnya.

Selain PT. Inmas Abadi, di kawasan Lebong Kandis juga terdapat HGU milik PT. Alno Agro Utama seluas 236 hektar yang telah ditanami kelapa sawit yang juga diusulkan untuk dilepaskan. Selain perkebunan milik Alno, habitat gajah sumatera ini juga dikepung oleh konsesi PT. Daria Dharma Pratama dan PT. Mitra Puding Mas.

Selain diusulkan untuk dilepaskan, usulan untuk menurunkan seluas 246 hektar kawasan konservasi Taman Wisata Alam (TWA) Seblat menjadi Hutan Produksi Konversi (HPK). Berdasarkan pemandangan citra, tutupan lahan kawasan hutan TWA yang diusulkan untuk diturunkan statusnya ini masih tergolong baik. Artinya memang usulan ini adalah skenario penghabisan rumah terakhir gajah sumatera.

Penyempitan Habitat, Estalase Konflik dan Kematian Gajah.

Gempuran izin-izin perkebunan, terbukanya akses sehingga terjadi peningkatan aktivitas di kawasan yang menjadi habitat gajah sumatera ini kemudian menyebabkan terjadinya konflik antara gajah dan masyarakat. Selain itu kematian gajah sumatera akibat pemburuan, dibunuh juga sering terjadi.

Catatan Genesis Bengkulu periode tahun 2011 terdapat 7 (tujuh) ekor gajah mati diduga karena keracunan. Pada tahun 2018 ditemukan gajah mati membusuk akibat keracunan, yang ditemukan di HP Air teramang. Konfik dan perburuan tinggi terjadi pada periode tahun 2007-2018 dengan total kematian 20 gajah; 14 Gajah liar dan 6 gajah jinak.[3]

Kasus terbaru kematian gajah ditangani BKSDA Bengkulu, kematian gajah bentina berusia sekitar 20-30 tahun di HP Air Teramang yang telah menjadi kebun kelapa sawit.[4] Gajah diduga makan racun rumput yang ada di pondok masyarakat. Gaja yang mati pada awal bulan Juli 2018, ini ditemukan di Desa Retak Mudik, Kecamatan Sungai Rumbai, Kabupaten Mukomuko, Bengkulu.

Selain kematian, tercatat juga konflik antara gajah sumatera dan masyarakat. 2016 dan Februari 2017, diperkirakan 17-20 ekor gajah masuk ke kebun warga dan kebun Kas Desa mulik Desa Gajah Makmur (SP.8), Kecamatan Malen Deman kabupaten Mukomuko. Menurut warga dalam satu malam lebih dari 100 batang kelapa sawit yang rusak akibat di makan dan roboh oleh kawanan gajah.

Perubahan peruntukan kawasan hutan yang begitu politis dan sarat akan kepentingan perizinan ekstraktif seperti perkebunan skala besar dan pertambangan berkorelasi besar dengan tingginya konflik dan kematian gajah sumatera. Maka, sekiranya usulan pelepasan kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Seblat dilepaskan dan diturunkan status nya, Hutan Produksi Terbatas Air Ipuh II dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Lebong Kandis juga dilepaskan, habitat satwa kunci ini akan kian menyempit dan konflik dan kematian gajah akan semakin meningkat.

Harimau Sumatera : diburuh dan terancam habitatnya.

Sama halnya dengan gajah sumatera yang populasinya terancam, harimau sumatera juga demikian. Berdasarkan data Fauna Flora Internasional- Indonesia (FFI-Indonesia) rentan waktu 2016 hingga 2018 ditemukan 20 jerat untuk harimau dan 113 jerat mangsa.[5] BKSDA Bengkulu-Lampung juga menyebutkan saat ini hanya ada 17 ekor harimau tersisa.[6]

Kemunculan harimau di pemukiman masyarakat dikarenakan habitat nya semakin menyempit. Hutan Produksi Terbatas (HPT) Bukit Badas dan Taman Buruh (TB) Semidang Bukit Kabu yang merupakan wilayah jelajah harimau sumatera memang telah dikapling oleh izin usaha pertambangan. Di kawasan HPT Bukit Badas, ada empat desa enclave yaitu desa Lubuk Resam, Sinar pagi, Sekalak dan Talang Empat. Wilayah desa enclave ini fakta telah dikapling oleh tiga izin usaha pertambangan batu bara. PT. Ratu Samban Mining, IUP PT. Bara Indah Lestari, PT. Bumi Arya Syam dan Syah Resources. Di sekitar konsesi milik PT. Bara Indah Lestari (BIL) ini lah ditemukan tiga harimau berkeliaran pada Oktober 2017 lalu. Selain perburuhan, penyempitan wilayah jelajah harimau akibat izin pertambangan dan perladangan bebas adalah penyebab konflik dan kematian harimau.

Masyarakat lokal di desa-desa yang berdampingan dengan kawasan hutan tersebut memiliki kearifan lokal dalam menjaga hubungan mereka dengan harimau sumatera. Masyarakat memiliki kepercayaan bahwa harimau sumatera adalah puyang/kakek/leluhur dengan menyebutnya dengan istilah “Si Tuo”. Si Tuo bukanlah ancaman bagi mereka.

Tetapi ketika desa tersebut dikapling izin tambang dan perusahaan beroperasi, harimau sumatera terusik dan kerap memperlihatkan dirinya. Ditambah lagi jika hutan yang telah dibebani izin=izin tambang tersebut dilepaskan konflik, perburuan dan kematian harimau sumatera akan terus terjadi. Bisa saja Gajah sumatera dan harimau sumatera kedepannya akan menjadi legenda.

 

 

 

 

 

[1] Dokumen Sejarah Kawasan TWA Seblat disusun oleh BKSDA.

[2] Dokumen Sejarah Kawasan TWA Seblat disusun oleh BKSDA.

[3] Laporan Analisis kematian Gajah Bengkulu, Genesis Bengkulu tahun 2018

[4] https://regional.kompas.com/read/2018/07/01/08554021/seekor-gajah-betina-ditemukan-mati-di-bengkulu. Seekor Gajah Betina Ditemukan Mati di Bengkulu.

[5] https://regional.kompas.com/read/2019/03/26/11222221/selama-3-tahun-6-harimau-di-bengkulu-mati-jadi-korban-perburuan

[6] https://tirto.id/harimau-sumatera-di-bengkulu-tersisa-17-ekor-saja-chxl