Pintu rumah Sartini masih terbuka malam itu, Rabu 15 Januari 2020. Ketika kami tiba, dia tepat sedang duduk di depan pintu, menyambut kami dengan senyum. Kami tiba di dusun Kulik Sialang, sekitar pukul 19.30 wib. Setelah melalui perjalanan yang cukup menguji keberanian, kondisi jalan bebatuan bercampur tanah, licin karena baru saja hujan, juga remang-remang.

Seperti biasa, Sartini selalu menawari untuk mampir dan bercerita saat kami tiba. Dia menceritakan bahwa Februari nanti sertifikat tanah yang dia dan warga lain urus beberapa bulan yang lalu kabarnya akan diserahkan langsung oleh bupati. 500 persil sertifikat akan diterima masyarakat. Sartini terlihat bahagia sekali. Bagaimana tidak, pengakuan hak atas tanah kebun yang mereka kelola tersebut sebelumnya selalu ditolak oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Kaur. Tepatnya sejak 2015 lalu.

Seolah tanpa perlu persetujuan mereka, bahkan tanpa perlu mereka tahu, BPN mengeluarkan Hak Guna Usaha (HGU) serta izin prinsip diatas tanah mereka pada 2013 untuk PT. Ciptamas Bumi Selaras, anak perusahaan dari Ciputra Grup Plantation. Hal ini alasan BPN tidak berani menerbitkan sertifikat warga, saat mereka mengikuti program PRONA.

Kesadaran akan hak atas kepemilikan, membuat mereka saling mengkonsolidasikan diri untuk terus mengikuti skema-skema sertifikasi tanah yang dimiliki negara ini. Tetapi BPN tetap tidak berani menerbitkan sertifikat hak atas lahan kebun milik 270 KK dan bidang tanah yang berdiri bangunan milik 10 KK.

Empat tahun (2015-2019) berjuang mendapatkan hak atas tanah adalah waktu yang lama sekali bagi mereka. Hingga Januari yang lalu, masyarakat Kulik Sialang bersepakat untuk mencoba strategi yang berbeda. Membangun solidaritas perjuangan yang lebih luas. Membuat supaya semakin banyak yang mengetahui persoalan mereka, termasuk presiden dan jajarannya di pusat ibu kota.

Warga Kulik Sialang bersama Genesis Bengkulu mengirimkan surat kepada gubernur, dengan perihal usulan sertifikasi tanah kebun. Bersama dengan surat tersebut juga dilampirkan dokumen yang berisi 213 tandatangan masyarakat yang berkonflik, historis dusun Kulik Sialang dan kronologis perjuangan yang telah dilakukan masyarakat. Surat tersebut juga ditembuskan kepada presiden, DPR RI, Kementerian ATR/BPN, KPK, Ombusman Nasional dan provinsi, DPRD Provinsi dan kabupaten,  BPN Provinsi dan kabupaten Kaur, bupati Kaur, polda Bengkulu, dan polres Kaur, Dinas Perkebunan provinsi dan kabupaten Kaur, Camat Nassal, PT. CBS, Genesis Bengkulu dan Kepala desa Muara Dua.

Secara partisipatif juga dilakukan pemetaan atas wilayah kelola masyarakat yang diatasnya diterbitkan HGU oleh BPN. Diketahui seluas 680 hektar wilayah kelola warga dicaplok oleh PT. CBS, yang terdiri dari Hak Guna Usaha dan Izin prinsip.

26 Februari lalu, presiden Jokowi melakukan rapat terbatas bersama jajaran menterinya dan beberapa kepala daerah, termasuk Rohidin Mersyah, gubernur Bengkulu. Presiden dan gubernur Bengkulu menyatakan komitmen untuk menyelesaikan konflik dan sengketa agraria di Bengkulu. Dua bulan waktu yang diberikan presiden kepada Rohidin untuk menyelesaikan konflik-konflik tersebut. Konflik agraria di Kulik Sialang menjadi prioritas untuk diselesaikan.

Selanjutnya Gubernur, melalui Dinas Pertanian dan Holtikultura membuat kegiatan fasilitasi para pihak, yaitu Kementerian Pertanian dan Holtikultura, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dinas Pertanian dan Holtikultura provinsi dan kabupaten, ATR/BPN provinsi dan kabupaten, masyarakat dan perusahaan. kegiatan dilakukan pada 4 April 2019 di Madelin Hotel. Sebanyak 20 orang perwakilan masyarakat datang ke lokasi kegiatan tersebut.

Pada pertemuan ini, masyarakat menyampaikan historis koflik, historis kepemilikan tanah dan historis perjuangan yang telah mereka lakukan. Pertemuan ini kemudian menghasilkan tiga komitmen kesepakatan, yaitu :

  1. ATR/BPN Kabupaten Kaur akan melakukan pengukuran ulang tanah masyarakat
  2. Masyarakat akan mempersiapkan bukti alas hak yang mereka miliki dan dokumen keperluan enclave
  3. Pihak PT. Ciptamas Bumi Selaras berkomitmen untuk mendukung proses sertifikasi tanah masyarakat yang berada di dalam HGU (enclave) dan di luar HGU.

Mei 2019, tim BPN melakukan pengukuran tanah masyarakat Kulik Sialang. Meskipun begitu, hanya tanah yang terbebani IUP saja yang diukur, tanah yang terbebani HGU BPN tidak berani mengukur. Alasannya, karena untuk mengukur tanah tersebut harus ada persetujuan perusahaan. Masyarakat mengingatkan BPN atas tiga poin kesepakatan pertemuan. Tetapi pihak BPN tetap tidak mengukur tanah yang dibebani oleh HGU tersebut. Sikap BPN tersebut tidak menunjukan keberanian negara untuk menyelesaikan persoalan rakyat. Juga mengabaikan komitmen bersama yang telah disusun.

Februari nanti, jika benar, bupati akan memberikan 500 san persil sertifikat tanah kepada masyarakat Kulik Sialang, yang sebelumnya ditolak BPN untuk disertifikasi karena dibebani Izin prinsip PT. CBS. Kemenangan-kemenangan kecil selama empat tahun berjuang. Sebab sekitar 180 hektar wilayah kelola masyarakat yang dibebani HGU, belum dapat disertikasi. Masyarakat akan tetap berjuang untuk kemenangan selanjutnya, seluruh masyarakat Kulik Sialang harus mendapatkan hak kepemilikan atas wilayah kelola mereka. Tentunya dengan strategi perjuangan yang berbeda lagi.

Semangat perjuangan masyarakat Kulik Sialang menyebar ke desa-desa lainnya. Salah satunya desa Tri Jaya, yang juga ikuti jejak mereka. Ini juga menjadi kemenangan-kemenangan kecil dari perjuangan mereka.

Sama seperti Sartini yang dengan gembira menceritakan kemenangan kecil tersebut, perempuan lainnya di Kulik Sialang juga demikian.