UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja

Peraturan Menteri LHK Nomor 24 Tahun 2020 Tentang  Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate

Peraturan Presiden  66 Tahun 2020 tentang  Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dalam Rangka Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional

 

Oleh : Delvi Indriadi,S.H

Undang-undang Cipta Kerja menimbulkan dua persoalan besar yang mengubah karakter dasar dari Undang-Undang Kehutanan, yaitu meninggalkan semangat resolusi konflik dan upaya konservasi sumber daya hutan. Pertama, munculnya ketentuan “daerah yang strategis” yang akan diprioritaskan dalam percepatan pengukuhan kawasan hutan dengan tujuan untuk membuka ruang investasi sebesar-besarnya. Kedua, adanya perubahan yang menghilangkan batasan 30% luas kawasan hutan dari DAS, pulau atau wilayah administrasi provinsi. Hal ini diikuti dengan dihilangkannya peran DPR dalam memberikan persetujuan untuk perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, dan penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan di luar kegiatan kehutanan (infrastruktur jalan raya, waduk/bendungan, pertambangan, dll). Kedua hal di atas selama ini merupakan instrumen yang melindungi sumber daya hutan dari eksploitasi yang eksesif.

Perubahan dan kedudukan

Perubahan mendasar yang terjadi adalah diubahnya beberapa intisari peraturan pokok sektor kehutanan yang terdapat dalam UU No. 41/1999 tentang Kehutanan serta UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Beberapa poin penting perubahan yang ada ketika UU Cipta Kerja ini disahkan:

1.Mudahnya perizinan pemanfaatan kawasan hutan

Didalam UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, seluruh jenis perizinan permanfaatan kawasan hutan tercantum secara lengkap dimana terdiri dari 8 poin jenis perizinan terbagi menurut fungsi dan peruntukan hutan. Sedangkan, di dalam UU Cipta Kerja, mekanisme perizinan disederhanakan menjadi hanya ada satu jenis yaitu berupa perizinan berusaha.Imbas dengan adanya UU ini adalah pencabutan pasal 27-29 pada UU No. 41/1999, sehingga intervensi terhadap kawasan hutan melalui skema perizinan berusaha ini akan semakin masif dan efek dominonya akan semakin mempermudah pihak mana saja terutama yang bermodal dan berkuasa untuk mengajukan perizinan berusaha di kawasan hutan. Kemudahan pemberian perizinan tanpa pertimbangan aspek ekologis sangat riskan terhadap dampak lingkungan yang akan ditimbulkan kedepannya.Ditambah lagi dengan keluarnya Peraturan Peresiden Nomor 66 tahun 2020 tentang  Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dalam Rangka Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Aturan ini mengakomodasi percepatan penyelesaian pengadaan tanah untuk kepentingan proyek strategis nasional, meski di dalam kawasan hutan sekalipun.

Dilain sisi KLHK sedang mengagas proyek lumbung pangan melalui  Peraturan Menteri LHK Nomor 24 Tahun 2020 yang membolehkan hutan lindung digunakan untuk proyek lumbung pangan (food estate) .Ada ketidak sinkronan antara 2 produk hukum tersebut  dan kebijakan tersebut melampaui peran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang semestinya mengembalikan fungsi hutan lindung sebagai penyangga ekosistem dan mencegah bencana ekologis seperti banjir dan longsor.Jika alasannya KLHK Proyek Lumbung pangan yang dimaksut diperuntukkan untuk kawasan lindung yang sudah tidak produktif sebaiknya KLHK utamakan dulu areal-areal perkebunan terlantar dan tidak produktif itu. Jangan merambah ke hutan lindung apalagi nantinya didalam Peraturan ini memberikan hak pengelolaan maksimal 20 tahun kepada pengelola dan bisa diperpanjang ditambah lagi  tak  ada keharusan pengelola membuat Analisis Dampak Lingkungan (Amdal).Sehingga sangat dikhawatirkan akan mempercepat terjadinya bencana ekologis,apalagi proyek lumbung pangan tersebut dibangun pada daerah hulu sungai seperti di Provinsi bengkulu yang mayoritas hutan lindungnya  berada dihulu sungai.

  1. Kawasan hutan lindung semakin tak terproteksi

Prinsip dasar pembatasan pemanfaatan yang ada di hutan lindung bertujuan untuk menjamin hutan lindung tetap mempertahankan fungsi pokoknya yaitu sebagai kawasan hutan yang memiliki fungsi utama sebagai sistem penyangga kehidupan seperti mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah (UU No. 41/1999). Sementara  penerapan di dalam UU Cipta Kerja ini sangat mengancam pola pemanfaatan yang ada di hutan lindung. Jenis pemanfaatan hutan lindung yang awalnya hanya berupa jasa lingkungan dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) sesuai dengan mandat UU No. 41/1999 menjadi dapat dimanfaatkan lebih beragam karena ditambahkannya klausa pemanfaatan kawasan hutan. Seperti halnya pemanfaatan panas bumi tanpa perlu izin tetapi hanya berupa pemenuhan NSPK (Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria) serta penggunaan kawasan melalui persetujuan pinjam pakai tersebut telah berpindah kewenangan ke Pemerintah Pusat.Konsekuensi dengan adanya UU Cipta Kerja ini, eksistensi kawasan hutan lindung sangat riskan dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan yang cenderung eksploitatif, seperti ,alih fungsi ke pertambangan, perkebunan, dll. Hal ini secara jelas dapat menyebabkan hilang dan rusaknya hutan lindung yang bernilai sebagai penyangga kehidupan secara permanen. Terlebih, peran Pemerintah Pusat semakin tersentral, sehingga dengan mekanisme sentralistik ini dapat menimbulkan ketimpangan manfaat yang diterima antara pusat dan daerah.

  1. Food Estate Trend Ambisi Pengerusakan Hutan

Penerbitan Peraturan Menteri LHK Nomor P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate akan memperkuat dominasi korporasi terhadap kawasan hutan Indonesia. Permen ini menambah varian perizinan baru di kawasan hutan. Laju penebangan hutan alam akan menjadi konsekuensi logis dari Permen ini. Pengecualian kewajiban pembayaran provisi sumber daya hutan (PSDH) dan/atau Dana Reboisasi (DR) menjadi catatan penting bahwa negara semakin memperlihatkan keberpihakannya pada investasi.Pemerintah harus betul-betul berhitung berbagai risiko yang ada. Baik dari sisi iklim atau cuaca, kesesuaian lahan, infrastruktur yang mesti disediakan, maupun kelayakan secara ekonomi-sosial-lingkungan. Pada prinsipnya, Food Estate merupakan konsep yang mendorong pertanian skala besar dengan mengandalkan kolaborasi negara dan investasi. Sederhananya, Food Estate merupakan konsep pertanian tanpa petani

Pengembangan proyek food estate tentu akan menggunakan skema pembersihan lahan ketika hutan-hutan alam yang ditebang kemungkinan insentif tidak dilaksankan terhadap  kewajiban pembayaran provisi sumber daya hutan (PSDH) dan/atau dana reboisasi (DR) (Pasal 17 ayat (3) dan Pasal 30 ayat (3). Pengembangan Proyek food estate ini dilakukan pada kawasan lindung yang mana untuk provinsi Bengkulu merupakan wilayah hulu sungai yang berfungsi untuk mengairi persawahan bagi petani sawah yang ada bagian hilir,tentu jika proyek itu dikembang khususnya di provinsi Bengkulu tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan masalah baru bagi petani sawah dikemudian hari dan akan menimbulkan konflik baru ditengah petani sawah tidak hanya petani sawah yang menjadi korban namun petani tambak ikan yang selama ini  mengantungkan sumber air untuk mengairi tambak mereka berasal dari sungai yang hunlunya berada pada kawasan hutan lindung.

Disamping itu,pengembangan proyek food estate ini tentu membutuhkaan sarana pendukung seperti insfrastruktur jalan,industri pengelolaan hasil produksi sampai saat ini belum ada skema yang mengatur hal tersebut didalam proyek food estate tentu menjadi kajian penting jika hal tersebut dilajankan tidak cukup hanya dilakukan dengan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) cepat. Penggunaan KLHS cepat tidak memiliki dasar legal yang cukup, serta rentan menghasilkan kajian yang tidak akurat. (Pasal 4).Mestinya haruslah  didasari kajian kelimuan yang mumpuni atau evidence based.

 

 

Referensi:

[1] Pasal 27 UU Cipta Kerja yang mencabut pasal 27-29 pada UU no 41/1999 tentang Kehutanan, yang mengatur tentang berbagai jenis izin usaha pemanfaatan kawasan hutan sesuai fungsi dan peruntukannya.

[2] Pasal 36 UU Cipta Kerja yang mengubah pasal 27 UU no 41/1999 tentang Kehutanan

[3] Pasal 36 UU Cipta Kerja yang mengubah pasal 38 UU no 41/1999 tentang Kehutanan

[4] Pasal 36 UU Cipta Kerja yang mengubah pasal 23 UU no 41/1999 tentang Kehutanan

[5] Pasal 22 UU Cipta Kerja yang mengubah pasal 1 UU no 32/2009 tentang Pelindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

[6] Pasal 22 UU Cipta Kerja yang mengubah pasal 27 UU no 32/2009 tentang Pelindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

[7] Pasal 36 UU Cipta Kerja yang mengubah pasal 19 UU no 41/1999 tentang Kehutanan

[8] Pasal 36 UU Cipta Kerja yang mengubah pasal 38 UU no 41/1999 tentang Kehutanan

[9] Peraturan Presiden  66 Tahun 2020 tentang  Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dalam Rangka Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional

[10] Peraturan Menteri LHK Nomor P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate