Oleh :

Uli Arta Siagian

 

Sekarang adalah waktu yang mendesak untuk menarik diri dari narasi mainstream mengenai energi. Transisi energi kotor ke energi bersih, energi bersih dan terbaharukan, bahkan kata energi sendiri perlu kita dekonstruksi. Apa itu energi? Apa itu bersih? Apa saja sumber energi itu? Tentu saja jawaban itu harus ditemukan dan diangkat berdasarkan pengetahuan lokal masyarakat yang telah hidup jauh lebih lama dari pada narasi energi yang ada saat ini.

Kata serta makna energi itu sendiri begitu politis. Dalam bidang politik, energi memiliki sejarah lebih baru, sekitar 1970 an, setelah krisis minyak  (sebagai penanda bahan bakar) terkonsolidasi dan dipopulerkan sebagai objek politik. Departemen energi AS dibentuk pada 1977 dan topik seperti “transisi energi”, “energi alternatif” berkembang biak untuk pertama kalinya, membuka jalan bagi perusahaan energi dan prospek energi mereka. (Cara New Daggett; The Birt Of Energy;2019). Maka tidaklah heran ketika mempercakapkan energi, kita langsung memikirkan listrik, sumber listrik dan pembangkit listrik.

Pada abad 19 ikatan energi dan kerja semakin diikat erat dengan penemuan energi yang diakui saat itu (bahan bakar fossil) dan digunakan untuk melayani imperialisme Barat. Manusia dan bahan bakar diatur oleh logika aturan energi tunggal (fisika dan bahan bakar digabungkan untuk melahirkan energi bisnis. Peningkatan konsumsi energi untuk membuat dunia bekerja) yang kemudian membenarkan pengindeksan kesejahteraan manusia sesuai dengan idealisasi kerja dan penggunaan bahan bakar untuki keuntungan. (Cara New Daggett; The Birt Of Energy;2019)

Pengetahuan yang masih hidup dalam komunitas di kampung-kampung mengenai energi yang lebih luas, yang membicarakan energi dalam kerangka kosmologi, harus didokumentasikan dan diangkat untuk menjadi tandingan dari pengetahuan mengenai energi yang sangat sempit hari ini. Jika tetap mengikuti konstruksi energi hari ini, hasilnya hanya jatuh pada pembenaran akan ektraktivisme sumber daya alam yang membabibuta. Energi bersih, energi kotor, transisi energi, faktanya diintrupsi oleh kapitalisme. Semuanya hanya untuk menunjang sistem ekonomi yang begitu kapitalistik saat ini.

“Si Bersih” yang Membawa Derita

Pembangkit Listrik Panas Bumi (Geothermal) diklaim sebagai energi yang ramah lingkungan, sehingga geothermal menghiasi wacana transisi energi. Tetapi fakta-fakta lapangan mengoreksi dengan serius klaim ramah lingkungan tersebut. Proyek panas bumi di provinsi Bengkulu mengkapling seluas 247 ribu hektar daratan Bengkulu, yang sebagian besar berada di kawasan hutan. Membentang di tiga kabupaten, yaitu kabupaten Lebong dengan luas izin 130 ribu hektar, kabupaten Bengkulu Utara seluas 95 ribu hektar, kabupaten Rejang Lebong seluas 20 ribu hektar, dan kabupaten Bengkulu Tengah seluas 15 hektar. WKP Hulu Lais, proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi yang dikelola oleh PT. Pertamina Geothermal Energy (PGE) sebanding dengan 3 kali lipat luas negara Singapura.

WKP Hulu Lais ini mengkapling seluas 51% luas daratan kabupaten Lebong. Kabupaten Lebong merupakan kabupaten konservasi, sebab 65% dari luas total daratannya adalah kawasan hutan. Secara ekologis, kabupaten ini memiliki fungsi layanan alam penting sekaligus potensi bencana yang tinggi pula jika salah urus. Dampak buruk dari proyek panas bumi yang beroperasi di kawasan hutan lindung Bukit Daun ini mulai dirasakan oleh warga, setidaknya sejak 2016 yang lalu.

2016, satu orang warga desa Mubai harus kehilangan nyawa akibat longsor dari proyek panas bumi.(http://pedomanbengkulu.com/2016/04/sementara-korban-longsor-pge-hulu-lais-1-meninggal-dan-4-selamat/). Selanjutnya, banjir dan longsor yang diduga akibat proyek panas bumi ini juga terjadi lagi pada 2018 lalu. Material batu dan pasir dari wilayah hulu, tepat di wilayah proyek panas bumi, menyapu lahan persawahan milik warga. Sekitar 20 hektar sawah hingga saat ini tidak lagi bisa digunakan.

“3 hektar sawah milik saya, tidak lagi bisa dikelola, sejak terkena longsoran bebatuan dan pasir dari padang beni apok,” cerita Cucun Masyudi yang kami temui di penggilan beras milik keluarga besarnya, yang berada tidak jauh dari wilayah kerja panas bumi.

Padang beni apok adalah penamaan lokal yang artinya tumpukan pasir yang tidak bisa dipakai. Sepanjang hidup warga, mereka dapat bertani dengan aman, sebab padang beni apok dibentengi oleh bukit nipis. Bukit Nipis menahan agar padang beni apok tidak menyapu bersih lahan pertanian mereka. Tetapi, benteng alami ini hancur, sebab bukit Nipis dikeruk untuk proyek panas bumi.

Kini Cucun tidak lagi memiliki sawah. 3 hektar sawah yang menjadi warisan keluarganya secara turun – temurun, hancur tersapu bersih material pasir dan batuan. Tidak lagi bisa dikelolah. Biasanya setiap panen, Cucun bisa mendapatkan 200 karung beras dari sawah miliknya. “Sekarang, kami tidak menghasilkan beras lagi dan saya menjadi buruh upahan di kebun milik orang” kata Cucun. Jika pun mendapatkan beras, dia dapatkan dari bagi hasil penggilan beras milik keluarga besar nya. Dari 1 kaleng beras hasil gilingan, dia mendapatkan 1 cupak beras. Hingga kini pemerintah maupun pihak perusahaan tidak pernah bertanggungjawab atas kehancuran sawah milik nya.

Jimmi, laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun, menceritakan bagaimana sawah-sawah milik masyarakat juga mengalami penurunan hasil bahkan gagal panen. Padi-padi banyak yang mati. Hal ini terjadi sejak proyek panas bumi beraktivitas di hutan yang merupakan hulu dari sungai,  sumber irigasi untuk sawah mereka. “Air dari wilayah hulu, dimana geothermal beroperasi sudah tercampur belerang, belerang itu lah yang membuat padi-padi mati” Jimmi bercerita dengan sangat yakin mengenai persoalan yang kini dihadapi para petani.

Pencemaran air ini merupakan dampak buruk dari aktivitas ekstraksi panas bumi. Batu bara (2014) dalam Kertas Kerja II Front Nahdliyin Untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) yang berjudul “Dampak Negatif Energi Geothermal Terhadap Lingkungan Hidup” menjelaskan bahwa pencemaran air terjadi karena larutan hidrothermal mengandung kontaminan seperti Arsenik, Antimon, dan Boron.

Arsenik (As) adalah penyebab terjadinya kanker pada manusia. Ia berkontribusi terhadap tingginya penyakit kulit dan kanker di lokasi pemukiman yang tepapar terhadap kandungan As yang tinggi dalam air minum. Antimon (Sb) memiliki tingkat beracun yang memperlihatkan karakter yang sama dengan As. Boron (B) dalam konsentrasi tinggi dapat menyebabkan permasalahan pada kesehatan manusia seperti menurunnya tingkat kesuburan. As, Sb, dan B, adalah material yang terdapat secara alamiah, namun proses ekstraksi panas dalam produksi energi di pembangkit geothermal, menyebabkan ia termobilisasi dan mengkontaminasi perairan. Kasus ini terjadi di Balcova, Turki ( Aksoy et al.2009).

Batu bara (2014) juga menjelaskan bagaimana aktivitas panas bumi (geothermal) juga menyebabkan fracking dan gempa minor. Fracking adalah singkatan dari hydraulic fracturing, yaitu sebuah cara yang dipakai dalam ekstrasi energi geothermal dan gas untuk memperbesar permeabilitas (kemampuan melalukan fluida) batuan dengan tujuan meningkatkan nilai keekonomisan sebuah lapangan pembangkitgeothermal. Namun, frackingdapat menyebabkan terjadinya gempabumi minor karena menurunkan kohesivitas (daya ikat) batuan. Injeksi fluida ke dalam reservoir (batuan sarang) menekan reservoir sehingga mengalami pergerakan (slip) karena gaya gesek statis (static friction) nya terlampaui. Terjadinya slip pada batuan adalah salah satu kunci terjadinya gempabumi. Gempa bumi minor akibat ekstraksi panas bumi terjadi ratusan kali di Basel Swiss pada 2006. Akhirnya pada 2009, kegiatan ekstraksi panas bumi oleh Geopower Brasil itu dihentikan.

Syatori dan Faizi (2017) dalam Wacana Jurnal Transformasi Sosial yang berjudul “Taman Nasional, Fracking, dan Reorganisasi Teknik Pendisiplinan Akses Atas Air : Basis Argumentasi Penolakan Rencana Ekstraksi Panas Bumi di Gunung Ciremai”  berdasarkan laporan Zaky et. Al (2015) menyebutkan  Di Indonesia, selama Oktober 2013–Agustus 2014, terekam 600 gempa lokal di sekitar lapangan panas bumi Wayang Windu dan Darajat, Kabupten Bandung, Jawa Barat. Dari analisis penentuan sumber gempa (hypocenter), terungkap bahwa semua gempa berasal dari lapangan panas bumi dengan kekuatan rata-rata di bawah 3 skala richter. Laporan ini menegaskan adanya keterkaitan antara eksplorasi panas bumi dan gempa minor. Dampak ikutan dari gempa minor ialah tanah longsor.

Fracking dan gempa bumi minor sangat mungkin sekali terjadi di Lebong. Wilayah kerja panas bumi yang berada tepat di atas patahan Sumatera akan sangat mungkin menyebabkan terjadinya gempa bumi. Patahan Sumatera memiliki panjang 1900 Km ini setidaknya tercatat telah mengeluarkan gempa sebanyak 21 kali sejak 1890 an. Artinya patahan berpotensi mengeluarkan gempa 1-2 kali dalam setiap dekade. Potensi ini tentunya termasuk sangat tinggi.  Gempa-gempa besar terakhir adalah gempa Liwa tahun 1994 (M6.9), Gempa Kerinci tahun 1995 (M7.0), dan gempa di Singkarak-Solok pada tanggal 6 Maret tahun 2007. 50% panjang patahan ini memiliki potensi besar untuk memproduksi gempa diatas skala magnitudo 6,5 (Danny Hilman Natawidjaja; Desember 2007; Gempa Bumi dan Tsunami di Sumatera dan Upaya Untuk mengembangkan Lingkungan Hidup yang Aman dari Bencana).

Selain cerita hancurnya sawah, menurunnya hasil panen hingga gagal panen, masyarakat juga menceritakan bagaimana kopi-kopi milik masyarakat yang berada di sekitar wilayah kerja panas bumi mati terkena semburan gas. Menurut Eko Teguh Paripurno dosen dari Pusat Studi Manajemen Bencana UPN Veteran Yogyakarta dalam paparan materinya saat diskusi mengenai risisko yang bisa timbul dari aktivitas geothermal yang diadakan oleh WALHI Sumatera Barat, peristiwa mengalirnya minyak, gas, atau cairan lain ke permukaan dari aktivitas pengeboran disebut dengan blow out.

Hormatilah orang-orang di kampung!

Selain terbukti tidak ramah lingkungan dan mengancam keselamatan kehidupan masyarakat, proyek panas bumi ini sedari awal tidak menghormati orang-orang di kampung. Tidak pernah ada penjelasan secara terbuka dan rinci tentang pembangkit listrik tenaga panas bumi yang diberikan kepada warga calon korban yang hidup di sekitar proyek. Apakah proyek panas bumi ini sejenis onde-onde, atau sejenis keripik pisang, atau malah sejenis virus corona yang siap menyerang imunitas masyarakat dan membunuh secara massal.

Jika penjelasan saja tidak diberikan, apalagi meminta izin kepada masyarakat sebelum memulai proyek, mempertanyakan apakah masyarakat menginginkan proyek tersebut atau menolaknya. Sesuatu yang sangat langkah terjadi di negara ini. “Tidak pernah bilang ke kami kalo mau dibangun geothermal, kami tidak tau geothermal itu seperti apa, sekarang pun kami tahu sedikit demi sedikit, itu kami dengar-dengar dari cerita yang berkembang di desa” kata masyarakat saat ditanyai apakah mereka pernah dimintai izin untuk dibangun pembangkit listrik panas bumi.

Beginilah watak negara yang tidak pernah berubah. Tidak pernah menghormati kehidupan warga di kampung. Di atas ketidaktahuan mereka, negara mengkapling-kapling tanah mereka, mengkapling kampung mereka, mengkapling hutan. Kerusakan, kehilangan, bencana, adalah dampak-dampak yang harus ditanggung warga, dan hanya nestapa yang tersisa.

Negara seharusnya menghormati kehidupan orang-orang di kampung. Membuka ruang untuk mempercakapkan pengetahuan serta pengalaman orang-orang di kampung dengan ruang hidupnya. Mempercakapkan apa syarat keselamatan orang-orang di kampung, serta mempercakapkan ancaman-ancaman apa saja yang akan diterima oleh rakyat ketika sebuah proyek masuk ke kampung. Rakyat memiliki hak veto untuk memilih menerima atau menolak proyek yang masuk ke ruang hidupnya dan negara harus menghormati itu.

Tak Lebih Dari Bisnis.

Urusan energi tidak lebih dari sekedar urusan bisnis, memperkuat sirkuit modal. Energi bersih dan energi kotor kemudian jatuh pada pertarungan politik dagang. Listrik yang dihasilkan ini dipakai untuk menunjang pembesaran ekstraksi sumber daya alam, khususnya mineral batu bara. Perluasan perkebunan monokultur dengan komoditi global serta menjamin jalur distribusi hasil ektraksi tersebut. Proyek-proyek pembangkit listrik tenaga batu bara, tenaga panas bumi, di Bengkulu juga dirancang untuk hal tersebut.

Melihat kembali Rencana Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia, atau yang dikenal dengan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) masih cukup relevan hari ini. Meski rezim berganti, acuan rencana percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi tidak banyak berubah.

Secara substansi langkah implementasi dalam dokumen percepatan ini diwujud nyatakan. Bagaimana negara mengambil peran untuk menyediakan perangkat aturan dan regulasi yang memberikan insentif bagi dunia usaha untuk membangun kegiatan produksi dan infrastruktur secara paripurna. Insentif tersebut berupa kebijakan (sistem maupun tarif) pajak, bea masuk, aturan ketenagakerjaan, perizinan, pertanahan, dan lainnya sesuai dengan kesepakatan bersama dunia usaha. UU Cipta Kerja, undang-undang mineral dan batu bara serta produk hukum turunannya adalah bentuk nyata yang bisa kita lihat dengan terang benderang.

Koridor Ekonomi Sumatera, direncanakan dibangun untuk menjadi sentra produksi dan pengelolaan hasil bumi dan lumbung energi nasional. Sumatera diharapkan menjadi gerbang ekonomi nasional ke pasar Eropa, Afrika, Asia Selatan, Asia Timur dan Australia. Realita yang ada saat ini mengkonfirmasi rencana tersebut.

Bentang alam bukit barisan, tulang punggung Sumatera menjadi sasaran eksploitasi energi dan mineral batu bara. Pertamina Geothermal Energy (PGE) di Bengkulu, geothermal Gunung Talang di Solok Selatan, PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP) adalah beberapa proyek pembangkit listrik panas bumi yang berada di bentang bukit barisan. Belum lagi izin-izin tambang batu bara dan emas yang mengkapling-kapling bukit barisan. Bukit Barisan dijadikan sebagai koridor energi dan mineral batu bara.

Setidaknya ada tiga substansi dari rencana membangun Sumatera ini. Pertama, infrastruktur. Dimana listrik menjadi hal yang utama dan terpenting. Listrik ini menjamin terbangunnya konektivitas. Menjamin kelancaran produksi dan distribusi hasil ektraksi. Lihatlah begitu gencarnya pembangunan pembangkit liastrik, tol, pelabuhan dan kereta api.

Kedua, memperbesar ekatraksi tiga komoditi global andalan sumatera yaitu mineral batu bara (emas, perak, timbal, besi baja, batu bara, seng dan timah), sawit serta karet.

Ketiga, menciptakan tenaga kerja untuk bekerja di perusahaan sebagai buruh murah. Logika dari ekstraktivisme adalah perluasan wilayah kerja. Maka, ekapansi laju izin harus terus terjadi untuk memperbesar ekstraksi. Pada titik ini lah akumulasi primitif terjadi. Dimana perampasan tanah-tanah rakyat terjadi. Petani terpisah dari tanahnya dan terlempar ke ruang produksi kapital yang tenaganya dihargai dengan sangat murah.

Ketiga hal diatas menjamin roda penghancuran terus berputar. Energi yang dipahami saat ini adalah mesin penjamin roda tersebut untuk terus menerus berputar. Orang-orang yang hidup di bawah proyek panas bumi dipaksa masuk ke dalam roda penghancuran tersebut.