Malu-malu tapi mau, kesan yang pertama tampak dari mimik beberapa perempuan desa  muara dua, kaur, ketika hendak menulis memegang pena dan kertas. Mungkin saja karena mereka telah lama tidak menulis. Apalagi jika harus menuliskan pengalaman hidup mereka sebagai perempuan. Tapi tidak, perempuan hanya menuliskan  nama  dan statusnya dalam rumah tangga pada kertas berwarna hijau dan  biru. Kemudian Jawaban mereka  mengarahkan pada perbincangan pekerjan domestik rumah tangga dan peran sosial perempuan di masyarakat.

Kegitan belajar ini adalah kegitan yang di dorong oleh Kelompok Perempuan Pelestari Bukit Kayangan setelah mereka berhasil membangun kesepakatan membentuk kelas belajar bersama  perempuan di desa sumber harapan.

Rumah sederhana dan sejuk bernuansa biru muda, dengan ruangan teras terbuka dan tergantung sebuah kandang burung peliharaan si empunya rumah. Di rumah inilah kegiatan belajar itu berlangsung.

Selama ini perempuan disibukkan dalam kerja-kerja rumah tangga. Hari ini perempuan menambah lagi kesibukkannya dengan hal baru yakni belajar memahami perempuan dan lingkungan. Kesibukan baru ini akan menjadi kebiasaan mereka setiap bulannya yang menjadi ruang peningkatan pengetahuan dan mempererat kebersamaan mereka. Pada awal pembelajaran, perempuan menggali, mengingat kembali pengetahuan dan pengalaman yang dirinya miliki selama puluhan tahun hidup sebagai perempuan.

Sambil memangku anak-anak mereka yang masih balita, kegiatan belajar ini diawali dengan perempuan menuliskan nama mereka pada sebuah kertas berwarna hijau sebagai penanda bahwa mereka adalah pengemban kerja-kerja rumah tangga. Lalu menuliskan statusnya atau status pasangannya pada kertas berwarna biru sebagai penanda bahwa yang tertulis pada kertas tersebut adalah pengamban kegiatan sosial dan strategis desa.

Dari tulisan mereka memunculakan percakapan yang mengungkapkan ternyata selama ini mereka terlalu sibuk mengurus rumah tangga dan merawat anak. Sehingga tidak punya waktu dan dianggap repot jika harus terlibat dan  mengemban peran strategi di kampung mereka. Misalnya hadir dalam rapat-rapat strategis kampung, itu didominasi oleh laki-laki.

     

Perempuan kemudian membagi 2 kelompok diantara mereka dan membentuk barisan untuk menggambar tubuh perempuan dan laki-laki secara estafet pada kertas plano yang ada di depan mereka. Suasana yang tadinya masih kaku kemudian menjadi riang gembira karena talah berhasil mencair oleh gelak tawa perempuan yang tiada henti pada kegiatan menggambar tubuh ini. Bukan tanpa sebab, mereka masih “tabuh” untuk membicarakan perihal ketubuhan di muka umum baik itu tubuh perempuan ataupun laki-laki. Gambar yang berhasil mereka buat menuai kesadaran mereka akan tubuh perempuan. Sadar akan kodrat dan peran sebagai perempuan adalah tujuan dari pembelajaran ini. Kesadaran ini kemudian menggali cara pandang perempuan bahwa, mereka berhak untuk mengambil peran strategis di kampung dan menyampaikan pendapat.

Cara pandang baru perempuan ini diperkuat lagi ketika membedah kebutuhan disekitar mereka. Seperti sungai yang digunakan sebagai kebutuhan sehari-hari seperti menyuci, masak, mandi, membersihkan rumah dan lain-lain dapat memberi dampak buruk ketika airnya tercemar dan memberikan beban psikologis yang lebih berat kepada perempuan. Bahkan dapat juga terganggu kesehatan tubuh dan reproduksi mereka.

“sekarang jadi tahu tentang perempuan, pekerjaan rumah tangga, lingkungan dan hak” ungkap Saripa, salah satu perempuan yang hadir dalam kelas belajar di kampungnya tersebut. Dia juga menjawab ketika ditanyai bahwa dia akan berani hadir dan menyampaikan pendapat di muka umum dalam rapat-rapat desa.

                    • Mengetahui kodrat perempuan
                    • Perempuan penting/berhak datang ke rapat desa
                    • Pekerjaan rumah tidak mesti di kerjakan oleh perempuan

Tiga kalimat ini adalah tulisan dari perempuan bernama Rini Aneka. Perempuan yang akrab disapa Ririn ini menuliskannya pada kertas berwarna biru dengan tinta spidol berwarna merah jambu.