Bengkulu – Saat ini, sebesar 166 ribu hektar wilayah APL Provinsi Bengkulu telah di kotak-kotak untuk izin pertambangan 100 perusahaan dengan luasan mencapai 58 ribu hektar dan untuk izin perkebunan skala besar 35 perusahaan dengan luasan mencapai 108 ribu hektar. (analisis data Onemap ESDM dan Bhumi ATR/BPN 2023).

Ini mengakibatkan, luas areal APL diluar penguasan korporasi menyisakan 894 ribu hektar. Dengan jumlah penduduk Provinsi Bengkulu yang mencapai 2 juta jiwa dan jika dibagi rata, maka setiap jiwa bahkan tidak sampai menguasai 1 hektar tanah. Masyarakat yang tidak memiliki tanah pun memiliki kesulitan untuk mengakses wilayah kelola dibandingkan dengan perusahaan berbasis industri ekstraktif. Dari ketimpangan penguasaan lahan inilah yang menjadi penyebab mencuatnya beberapa konflik agraria di Bengkulu.

Bertepatan pada tanggal 8 Maret 2024, di ruangan Kalika 1 Hall, Xtra Hotel, Bengkulu. Yayasan Genesis Bengkulu mengadakan acara Konferensi Perempuan Tingkat Provinsi sekaligus memperingati Hari Perempuan Internasional.

Kegiatan ini diikuti oleh banyak komunitas akar rumput yang sedang berkonflik dan tersebar di Provinsi Bengkulu, diantaranya Komunitas Perempuan Pelestari Bukit Kayangan dan Perempuan Muara Dua dari Kabupaten Kaur. Kelompok Perempuan Petani Tanjungan Sejahtera, Perempuan Forum Petani Bersatu, dan Perempuan Beremis dari Seluma. Kelompok Perempuan Forum Air Palik Menggugat dari Bengkulu Utara, Perempuan Petani Tanjung Sakti dari Mukomuko, Perempuan Sungai Lemau dari Bengkulu Tengah, KPPL Maju Bersama dari Rejang Lebong, Perempuan Alam Lestari dari Kepahiang, dan Kelompok Srikandi dari Kota Bengkulu.

Selvia, selaku penanggung jawab kegiatan mengatakan bahwa, acara ini merupakan dialog perempuan akar rumput dari berbagai daerah yang memperjuangkan akses terhadap ruang hidup mereka dan lingkungannya.

“Kegiatan ini penting untuk di gagas agar menjadi wadah bagi kelompok perempuan untuk memperkuat satu sama lain, dan memberikan ruang bagi perempuan untuk menyuarakan keresahan dan perjungan yang telah mereka lakukan, namun belum mendapatkan hasil sesuai harapan”. Tambah dia.

Selvia melanjutkan, harapan dengan ada kegiatan ini para kelompok perempuan bisa solid dalam membangun gerakan perempuan menjadi gerakan bersama di Provinsi Bengkulu  dalam melawan perampasan ruang hidup dan kerusakan lingkungan.

Hampir di setiap Kabupaten di Provinsi Bengkulu terdapat konflik agraria, ada yang berkonflik dengan perusahaan perkebunan skala besar, perusahaan pertambangan, ada yang kesulitan mengakses kawasan hutan sebagai wilayah kelola akibat keterbatasan lahan, bahkan ada yang berjuang melindungi sumber daya alamnya, dari kebijakan yang akan mengakibatkan hilangnya ruang kelola dan menghadirkan kerusakan lingkungan.

Kelompok perempuan yang hadir pada acara ini adalah perempuan yang telah mampu melihat ketimpangan akses pengelolaan ruang hidup di Provinsi Bengkulu. Mereka bisa melihat bagaimana negara bisa memberikan ratusan ribu hektar tanah bagi segelintir elit untuk mengakses sumber daya alam, sedangkan mereka hanya memperjuangkan sedikit lahan saja mengalami kesulitan, bahkan mendapatkan kriminalisasi.

Mereka meminta agar pemerintah lebih memperhatikan rakyat dengan membuat kebijakan yang tidak menyengsarakan rakyat. Mereka juga meminta agar pemerintah tidak memasukkan perusahaan yang bisa merusak sumber kehidupan mereka.

Apa yang dialami perempuan dalam  berbagai konflik agraria mengindikasikan  pelanggaran HAM, dimana terjadi kekeliruan kebijakan pembangunan dalam mengelola sumber-sumber agraria, membentuk kerangka pikir pembangunan yang hanya memandang lingkungan sebagai komoditas ekonomi semata.

Kegiatan ini akan berkelanjutan, karena mereka para peserta, telah membuat persatuan gerakan perjuangan merebut hak mereka kembali, dan gerakan perlawan melawan kerusakan lingkungan. Jadi kegiatan ini akan terus berlanjut dan terus-menerus hingga ke generasi penerus agar gerakan perlawanan perempuan ini tetap ada dan utuh.