Perayaan Hari Bumi biasa diperingati setiap tahunnya pada tanggal 22 April. Pada momentum Hari Bumi Kali ini, Genesis menyoroti bencana banjir yang terjadi di Provinsi Bengkulu beberapa waktu terakhir. Data yang telah Genesis kumpulkan menyebutkan bahwa, setidaknya sudah delapan peristiwa banjir yang terjadi di Provinsi Bengkulu pada tahun 2024 ini dan yang terparah terjadi baru-baru ini di Kabupaten Lebong.

Hujan deras yang mengguyur Kabupaten Lebong mengakibatkan 6 kecamatan terendam banjir. Data yang dihimpun dari RRI.co.id menyebutkan, kecamatan tersebut diantaranya adalah Kecamatan Uram jaya, Amen, Lebong Sakti, Bingin Kuning, Topos dan Rimbo Pengadang. Banjir bandang terjadi karena meluapnya Sungai Batang Ketahun akibat hujan deras yang berlansung selama dua hari, yakni tanggal 15 dan 16 April lalu.

Wilayah banjir berada pada wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Ketahun dengan satu sungai besarnya yakni Sungai Batang Ketahun. Anak Sungai Ketahun berasal dari kawasan hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan Hutan Lindung (HL) Bukit Daun, sehingga kondisi ekologis dua kawasan hutan ini memiliki pengaruh terhadap kondisi Sungai Batang Ketahun. Melihat secara remote sensing, enam kecamatan tersebut merupakan penyanggah TNKS dan satu diantaranya merupakan desa penyanggah HL Bukit Daun.

Genesis sebagai Organisasi Non Pemerintah yang berfokus pada isu lingkungan dan tergabung dalam pengembangan peta MapBiomas Indonesia, mencoba melihat lebih spesifik tutupan lahan kawasan hutan Bengkulu sesuai data digital SK.784 tahun 2012 yang berluasan 924.629,70 hektar.

Berdasarkan data MapBiomas Indonesia tahun 2022 menyebutkan, kawasan hutan Bengkulu sudah beralih menjadi non hutan (tumbuhan non hutan, sawah, sawit, kebun kayu, pertanian lainnya, lubang tambang, non vegetasi lainnya) seluas 154.990,25 hektar. Secara spesifik lagi dari total luasan tersebut, kawasan TNKS yang tidak lagi berhutan adalah seluas 13.241 hektar dan kawasan HL Bukit Daun yang tidak lagi berhutan seluas 23.196 hektar atau hampir 30% dari luasnya.

Jika melihat dari surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK.533/MENLHK/SETJEN/PLA.2/5/2023 tentang revisi kawasan hutan Provinsi Bengkulu. Kabupaten Seluma memiliki potensi bencana yang lebih besar, karena kawasan hutan yang paling besar di revisi adalah HL Bukit Sanggul yang berada di Seluma dengan motivasi peningkatan iklim investasi seluas hampir 20 ribu hektar. Wilayah ini berada di diatas Desa Giri Nanto, Desa Pagar Banyu, Desa Muara Nimbung, Desa Giri Mulya, Desa Banyu Kencana, Desa Gunung Megang, Desa Kayu Elang, dan Desa Napalan.

Dari total hampir 20 ribu hektar kawasan yang direvisi, Genesis menemukan bahwa wilayah tersebut telah diduduki izin pertambangan emas milik PT Energi Swa Dinamika Muda (PT ESDM) dengan luas izin 11.992 hektar.

Padahal, hampir 90% tutupan hutan di HL Bukit Sanggul masih merupakan hutan alami. Ditambah dengan fungsi ekologisnya, hutan ini memiliki peran penting sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, dan lainnya.

Jadi apabila nantinya akan ada aktivitas pertambangan maka akan menjadikan hutan ini rusak. Hutan yang rusak tidak dapat dimanfaatkan untuk menunjang kelangsungan hidup bagi masyarakat dan akibat hutan yang rusak berpengaruh juga pada lingkungan hidup sekitarnya. Termasuk juga sungai yang berasal dari dalam hutan dan merupakan sumber daya alam penting bagi kehidupan manusia.

Saat ini, sawah yang berada di 6 kecamatan, yakni kecamatan Ulu Talo, Talo, Ilir Talo, Talo Kecil, Semidang Alas, dan Semidang Alas Maras bergantung dengan aliran sungai yang berasal dari Hutan Lindung Bukit Sanggul. Dan akan terdampak nantinya apabila sungai telah tercemar zat berbahaya yang biasa digunakan dalam aktivitas pertambangan emas. Tak hanya sungai yang tercemar, bencana banjir pun sangat mungkin terjadi apabila penebangan hutan secara besar-besaran atau hilangnya vegetasi hutan terus dilakukan, yang mengakibatkan hutan tidak bisa menahan air hujan yang turun dengan baik sesuai dengan fungsinya. Maraknya kerusakan akibat alih fungsi lahan hutan, seolah menunjukan pembiaran yang berlarut-larut dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Pada momen perayaan Hari Bumi ini setidaknya bisa mengingatkan kita pada beberapa hal. Pertama, Indonesia berada dalam bayang-bayang bencana ekologis yang dengan mudahnya bisa datang kapanpun. Kedua, pembangunan ekonomi kerap kali menyampingkan prinsip kelestarian lingkungan. Pembangunan ekonomi Indonesia yang selalu bertumpu pada Sumber Daya Alam (SDA), memberi konsekuensi terhadap krisis lingkungan hidup. Ketiga, perubahan iklim yang terjadi saat ini sudah menimbulkan dampak nyata pada kehidupan dan yang merasakan akibat paling berat adalah golongan masyarakat miskin.