Pagi itu, Selasa (29/06/2021), satu – persatu para undangan mulai berdatangan. Mereka menghadiri undangan diskusi terbatas mengenai Revisi Peraturan Komnas HAM Nomor 5 Tahun 2015 tentang Prosedur Perlindungan Pembela HAM yang diselenggarakan oleh Genesis Bengkulu Bersama dengan ELSAM. Tepat pukul 10.00 wib, diskusi dimulai, setelah ruangan mulai terisi dengan para peserta yang berasal dari bermacam-macam latarbelakang. Penggiat isu lingkungan, isu perempuan dan anak, isu korupsi, isu agraria dan adat yang tergabung dalam Lembaga non pemerintahan. Ada pula yang berasal dari Lembaga bantuan hukum, akademisi kampus, dan badan eksekutif mahasiswa fakultas hukum.
Pembawa acara membuka acara diskusi terbatas dengan mengajak para peserta berdiri untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya. Setelah itu, menjelaskan secara singkat tujuan dari diselenggarannya diskusi ini. “Diskusi terbatas ini dilakukan dalam upaya menjaring masukan dari kelompok masyarakat sipil di provinsi Bengkulu atas draft revisi Perkom Pembela HAM, serta mengidentifikasi permasalahan dan kebutuhan pembela HAM untuk memperkuat dimensi lokalitas draft Perkom Pembela HAM” disampaikan Selvia, selaku pembawa acara. Dia kemudian menyerahkan kepada Delvi Indriadi, untuk memoderasi jalannya diskusi.
Narasumber pertama, Randy Praditio, dosen hukum Universitas Muhammadia Bengkulu (UMB) menyampaikan materi yang dia beri judul Catatan Atas Revisi Peraturan Komnas HAM Tentang Prosedur Perlindungan Pembela HAM.
Randy mengawali presentasi nya dengan dua poin pengantar penting terkait corak khusus kejahatan HAM. Pertama, pelaku mempunyai kekuatan powerfull, semisal korporasi yang memiliki akses ke penguasa. Kedua, pelaku pelanggaran HAM biasanya berasal dari penguasa.
Setelah meyampaikan poin pengantar, dia memaparkan tiga kunci utama dalam perlindungan para pembela HAM. Menurutnya yang paling utama dalam perlindungan pembela HAM adalah masyarakat sipil, bukan hanya pada institusi, negara atau lainnya. “Misal kita boleh saja berharap pada Komnas HAM maupun LPSK atau lembaga lainnya namun lembaga demikian belum ada perwakilannya hingga ke daerah. Masyarakat sipil yang tahu dan mengerti betapa pentingnya saling melindungi” pernyataan Randy yang juga ditulis dalam presentasi nya ini ditujukan untuk menguatkan argumentasi bahwa masyarakat sipil menjadi aktor utama dalam perlindungan pembela HAM. Kunci utama yang ketiga adalah Bagaimana dengan representasi negara atau penguasa yang ada di daerah dalam melaukan perlindungan?. Tentunya pertanyaan ini diajukan untuk semua orang yang ada di dalam ruangan.
Randy kemudian memaparkan beberapa hal terkait bagaimana hukum yang baik, peristiwa pelanggaran HAM massa lalu, kebijakan pemerintah terkait penyelesaian pelanggaran HAM, universalitas HAM, komitmen negara dan upaya APH di Indonesia dalam menjalankan komitmen perlindungan HAM.
Diakhir penyampaiannya, Randy menyampaikan beberapa persoalan yang dihadapi KOMNAS HAM berikut dengan PERKOM yang tengah direvisi, serta rekomendasi atas persoalan tersebut. Persoalaan dan rekomendasi tersebut adalah sebagai berikut :
- Bagaimana kualifikasi pembela HAM? Hal ini harus berfokus pada universalitas HAM.
- Akses terhadap pengaduan hingga perlindungan tersebut hendaknya dipermudah dan tidak menonjolkan birokrasi yang rumit.
- Pengaturan prosedur dari pengaduan hingga perlindungan tersebut tidak dilengkapi dengan jangka waktu untuk masing-masing tahapan. Hal ini berakibat potensi timbulnya ketidakpastian hukum.
- Ketentuan tentang kewenangan komisioner yang dapat memutuskan pemberian perlindungan tersebut. Apakah keputusannya perlu disepakati secara kolektif kolegial saja atau bagaimana?
- Penambahan ketentuan yang mengatur tentang jenis-jenis perlindungan bagi pembela HAM, misalnya evakuasi, pemberian pendampingan hukum bagi Pembela HAM yang berkaitan dengan hukum, atau tindakan lainnya.
- Kewenangan Komnas HAM yang terbatas. Secara teknis kewenangan pelaksanaan perlindungan berada pada kementerian/Lembaga sehingga pelaksanaannya tergantung pada koordinasi dan inisiatif masing-masing kementerian/Lembaga yang berwenang.
- Perempuan pembela HAM memiliki berbagai persoalan yang harus dipecahkan, misalnya persepsi gender dan budaya sosial dalam masyarakat yang menempatkan perempuan dalam kondisi yang rentan.
- Perlindungan terhadap serangan digital, bisa didorong juga melalui RUU perlindungan data pribadi.
Moderator kemudian memberikan kesempatan bagi pemateri kedua, yaitu Andi Muttaqin dari ELSAM. Andi memaparkan substansi Naskah Akademik, Draf revisi Rancangan Peraturan KOMNAS HAM, serta latarbelakang dan tujuan revisi PERKOM tersebut.
Dia memulai dengan memaparkan data terjadinya peningkatan kasus kekerasan terhadap pembela HAM atas Lingkungan sepanjang tahun 2020 meskipun telah lima tahun PERKOM nomor 5 Tahun 2015 berlaku. Realita ini yang kemudian menjadi alasan utama dilakukannya revisi, sebagai upaya melindungi para pembela HAM lebih baik lagi. Maka setidaknya ada lima alasan kenapa penting untuk merevisi PERKOM. Satu, agar terciptanya PERKOM yang efektif untuk melindungi para pembela HAM. Dua, penyempurnaan atas PERKOM yang lama. Ketiga, perkembangan teknologi yang juga penting untuk diperhatikan. Keempat, penyesuaian secara internal di KOMNAS HAM.
Di dalam draf revisi PERKOM ada beberapa tambahan pasal, seperti pendefinisian pembela HAM. Devinisi ini menjadi sangat penting karena frasa tersebut berimplikasi pada berbagai norma yang diatur dalam Draf PERKOM. Selain itu, ada tambahan definisi Ancaman dan Serangan dalam Draf Perkom Pembela HAM. Hal ini dikarenakan frasa tersebut berimplikasi pada berbagai norma yang diatur dalam Draf PERKOM.
Terdapat tambahan bab mengenai Ruang Lingkup Perlindungan. Ruang lingkup ini mengatur soal bentuk ancaman dan/atau serangan terhadap pembela HAM serta bagaimana upaya perlindungan yang harus diberikan kepada para pembela HAM. Bab tambahan selanjutnya adalah pengaturan soal prosedur perlindungan. Hal yang juga cukup maju dari PERKOM yang baru ini adalah ditambahkannya pasal mengenai perempuan pembela HAM.
Narasumber ketiga, yaitu Uli Arta Siagian, Direktur Eksekutif Genesis Bengkulu mengajak semua peserta yang ada di dalam ruangan untuk berefleksi terkait kerja-kerja perlindungan para pembela HAM yang dilakukan oleh negara. Refleksi : Perspektif dan Proyeksi Perlindungan Pembela HAM di Indonesia menjadi judul materi yang disampaikannya.
Dalam hal Perspektif, Uli memunculkan tiga pertanyaan kritis, yaitu : Pertama, apa yang menjadi soal sehingga perkom lama dihapus?. Kedua, Apakah aturan hukumya yang salah/ kurang sempurna?. Ketiga, ataukah situasi Lembaga yang belum mampu melaksanakan dengan maksimal?
Pertanyaan ini juga ditujukan untuk membaca dengan kritis akar masalah dari pelanggaran HAM dan tidak dilindunginya para pembela HAM saat melakukan kerja-kerja pembelaan HAM.
“Kita mempunyai banyak sekai instrument hukum yang mengatur soal HAM dan perlindungan pada pembela HAM, baik di level internasional maupun nasional. Kita punya KOMNAS HAM dengan segala aturan yang diproduksinya, tetapi persoalan pelanggaran HAM dan kekerasan terhadap para pembela HAM masih menjadi persoalan besar dan tidak pernah selesai” tutur Uli.
Dia kemudian menyampaikan argumentasi bahwa akar persoalan dari semakin tingginya pelanggaran HAM dan kekerasan terhadap para pembela HAM adalah karena Posisi negara sebagai yang diberikan mandat untuk menghormati, melindungi dan memenuhi HAM menjadi tidak lebih tinggi dibanding dengan posisi korporasi sebagai aktor non negara.
Untuk proyeksi, dia membagi dua hal, pertama soal substansi PERKOM nomor 5 tahun 2015 serta draf revisi PERKOM yang diusulkan. Secara substansi, draf revisi PERKOM ini mengatur dua hal : Satu, mengenai ancaman dan/atau serangan dalam pelaksanaan pembelaan HAM. Dua, mengenai situsai Darurat yang dapat mengancam keselamatan pembela HAM.
Tiga tambahan penting yang dimuat dalam draf usulan revisi PERKOM ini adalah mengenai Bentuk Perlindungan (PERKOM awal hanya mekanisme perlindungan). Koordinasi dan Kerjasama pemberian perlindungan (Dalam PERKOM sebelumnya, Kewenangan KOMNAS HAM yang terbatas menjadi kendala pemberian perlindungan bagi pembela HAM). Dan, Perlindungan Perempuan Pembela HAM (Pada PERKOM sebelumnya tidak memuat prinsip kesetaraan. Tidak memuat bentuk perlindungan dari ancaman/serangan seksual.
Dia juga menyampaikan dua rekomendasi pengaturan yang harus ditambahkan pada draf revisi PERKOM. Pertama, penting untuk memuat ayat yang mengatur soal fasilitasi Untuk Mendapatkan Pendampingan Psikologis bagi para pembela HAM. Kedua, Perlu menambahkan Perlindungan terhadap Pembela HAM dalam bentuk fasilitasi mendapatkan pendampingan psikologis.
“Saya menaruh perhatian khusus pada bagian Perempuan Pembela HAM. Serangan yang dialami oleh para perempuan pembela HAM itu lebih kompleks dimensinya dan bebannya tentu lebih berat. Maka diperlukan upaya pemulihan yang lebih serius untuk memulihkan psikologi para perempuan pembela HAM yang mengalami serangan” kata Uli.
Uli juga menambahkan satu hal yang penting untuk dapat memberikan perlindungan pada perempuan pembela HAM, secara internal orang-orang yang bekerja di KOMNAS HAM harus memperkuat perspektif gender.
Masih dalam konteks proyeksi, Uli memaparkan bagaimana proyeksi implementasi PERKOM kedepan. Situasi politik dan hukum saat ini membuat kekerasan bagi para pembela HAM dan pelanggaran HAM adalah sesuatu keniscayaan. Setelah beberapa undang-undang berlaku, seperti UU Cipta Kerja berikut dengan segala produk hukum turunannya, UU Minerba terbaru, pelemahan KPK, dan kebijakan lainnya yang membuka lebar keran investasi membuat pelaksanaan implementasi peraturan KOMNAS HAM tentang Perlindungan Pembela HAM akan semakin terjal dan berat ke depan.
Maka untuk bisa memastikan terimplementasikannya PERKOM perlindungan bagi pembela HAM ini secara internal KOMNAS HAM perlu memperkuat diri memastikan implementasi peraturan perlindungan bagi pembela HAM. Secara eksternal, diperlukan keinginan yang besar dari negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi HAM. Untuk itu negara perlu mereposisi diri untuk tidak lebih lemah disbanding korporasi.
Moderator kemudian mempersilahkan pemateri terakhir. “Pemateri terakhir biasanya memang untuk materi pamungkas” kata Delvi untuk memberikan kesempatan pada Hairansyah, Koordinator Sub Komisi Penegakkan HAM Komisioner Mediasi.
Hairansyah memaparkan presentasinya yang berjudul Peran dan Fungsi KOMNAS HAM Dalam Perlindungan Terhadap Pembela HAM (HRD). Secara umum dia menyampaikan mengenai KOMNAS HAM : posisi, tujuan, serta fungsi. Dia juga menjelaskan apa saja jaminan sebagai pembela HAM, unsur-unsur pelanggaran HAM, pengehentian pemeriksaan atas pengaduan, alur penanganan pengaduan, proses pemantauan dan penyelidikan.
Hal yang menarik juga dalam penyampaiannya, Hairiansyah mengakui hal-hal apa saja yang membuat KOMNAS HAM menjadi lemah dalam melakukan kerja-kerja nya. Hal yang utama adalah posisi KOMNAS HAM yang hanya memberikan rekomendasi, bukan eksekusi. “Sering sekali rekomendasi kita berikan tidak dilaksanakan oleh pihak lainnya, termasuk instansi kelembagaan negara” tutur Hairiansyah.
Dengan posisi KOMNAS HAM yang seperti ini, sulit untuk melakukan intervensi yang besar dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM. Hairiansyah menambahkan “PERKOM ini adalah bentuk ikthiar kita untuk bisa bekerja lebih maksimal kedepannya untuk memberikan perlindungan bagi para pembela HAM”.
Setelah memberikan waktu bagi para narasumber menyampaikan paparan materinya, moderator memberikan kesempatan kepada para peserta untuk menyampaikan tanggapan ataupun masukan atas draf revisi PERKOM seperti apa yang menjadi tujuan diselenggarakannya diskusi tersebut.
Lima orang peserta mengajukan tanggapan ataupun rekomendasi atas draf revisi PERKOM. Beberapa poin penting dari tanggapan ataupun rekomendasi tersebut adalah (1) perlunya payung hukum untuk memperkuat kelembagaan KOMNAS HAM; (2) Perlu untuk menambahkan pasal mengenai fasilitasi pemulihan psikologi bagi para perempuan pembela HAM; (3) Perlu memasukan pengalaman negara mana yang mampu menyelesaikan persoalan HAM dan memberikan perlindungan bagi para pembela HAM. Hal ini penting untuk dimasukan ke dalam Naskah Akademik untuk menjadi asupan bagi pembacanya dan penyusun draf revisinya; (4) Perlu merumuskan secara detail kriteria dan prasyarat siapa itu pembela HAM; (5) Perlu adanya POKJA KOMNAS HAM di daerah-daerah; (6) Harus ada mekanisme yang mengatur adanya laporan secara berkala untuk Lembaga yang diberikan rekomendasi oleh KOMNAS HAM agar publik bisa terlibat memantau; (7) Tidak adanya pasal yang mengatur soal hak imunitas bagi para pembela HAM dalam melakukan pembelaan HAM; (9) Dibutuhkan penyempurnaan draf revisi PERKOM yang mengakomodasi secara maksimal penjelasan mengenai perempuan pembela HAM yang terdapat di dalam naskah akademik.
Setealah lima orang peserta menyempaikan tanggapan serta rekomendasinya, moderator memberikan waktu kepada para narasumber untuk menanggapinya. Tidak ada perdebatan dalam putaran diskusi ini. Rekomendasi yang disampaikan para peserta tersebut dicatat menjadi rekomendasi yang akan dibahas lebih lanjut oleh tim penyusun draf naskah akademik dan draf revisi PERKOM.
Setelah hamper empat jam melakukan diskusi, moderator menutup proses diskusi terbatas dengan membacakan Kembali rekomendasi-rekomendasi yang disampaikan oleh para narasumber dan peserta.
Recent Comments