Jangan sampai anak cucu kita hanya mendengar cerita, bahwa sungai di kampung ini pernah sangat indah dan jadi tempat bermain ”ucap pak Paiman suatu sore ( 22/03/2021 ) di beranda depan rumah tinggal yang masih beralaskan tanah. Mata pak Paiman memandang lurus ke depan, jauh, sejauh mana bayangannya terhadap keberadaan sungai di kampungnya. Di atas kursi kayu yang tingginya kurang dari 30 cm kami duduk, mendengar pak Paiman bercerita bagaimana sungai menjadi sangat penting bagi kehidupannya serta seluruh warga kampung.
Sungai itu bernama Air Lelangi. Sungai Air Lelangi bukan hanya menjadi sumber kehidupan dan penghidupan bagi Paiman dan warga kampung Tanjung Dalam. Ada empat kampung lainnya yang menggantungkan hidup di sungai Air Lelangi, yaitu Tanjung Harapan, Pagardin, Lubuk Mindai dan Kualalangi.
Pak Paiman begitu antusias bercerita. Kali ini tentang kisah legenda sungai Air Lelangi. “Disepanjang aliran sungai Air Lelangi banyak sekali legenda-legenda yang masih terus dituturkan kepada anak-anak kami hingga hari ini.”
“Misalnya satu Lubuk bernama lubuk Ismail yang dipercaya punya terowongan yang bisa tembus ke sungai Seblat. Ada juga Lubuk Puti yang mana kisahnya ada seorang putri yang mati bunuh diri dengan cara terjun dari tebing ke dalam sungai karena dijodohkan oleh orang tuanya dengan laki-laki yang tidak dia cintai.”
Dia memalingkan wajahnya kepada kami seraya bertanya “kalian tau apa itu lubuk?”. “Lubuk itu tempat jatuhnya aliran sungai, membentuk seperti danau”, pak Paiman menjawab sendiri pertanyaannya, seperti tidak memerlukan jawaban apakah kami tau atau tidak apa itu lubuk.
Dengan menceritakan legenda sungai, kita bisa lebih mengenal sungai dan bisa menjaganya. Paiman menlanjutkan kata-katanya, “Pentingnya kita sebagai generasi yang masih hidup di masa sekarang untuk tetap menjaga dan melestarikan sungai.” Kalimat itu menutup pembicaraan kami.
Keesokan harinya, kami bertemu dengan ibu Darnawati. Ibu Darnawati menjelaskan tentang perbedaan keeratan relasi antara masyarakat asli yaitu suku Pekal dan masyarakat pendatang yang merupakan transmigran dari jawa. “Masyarakat asli memiliki relasi yang sangat erat dengan sungai Air Lelangi. Kami setiap hari mandi di aliran sungai Air Lelangi, bukan Cuma mandi, mencuci, dan mengambil airnya untuk dimasak. Sekalipun kami punya sumur” tuturnya.
“Tidak mudah bagi kami meninggalkan kebiasaan untuk mandi dan beraktivitas di sungai” wajahnya meyakinkan kami.
Masyarakat pendatang cenderung memiliki sumur di setiap rumah dan menggunakan air sumur untuk semua kebutuhan sehari-hari. Tetapi, ketika hujan tidak turun 2-3 hari maka sumur akan kering dan mereka akan memanfaatkan air sungai untuk kebutukan rumah tangga.
“Saat ini juga sudah sulit membuat sumur, karena rumah semakin padat,” lanjut ibu Darnawati. Pernyataan mempertegas bahwa ke depan, sungai Air Lelangi tetap menjadi sumber air utama. Sulit membayangkan jika Air Lelangi hancur.
Air Lelangi Terancam.
Nasib Air Lelangi kian terancam. Saat ini ada satu izin Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan sawit skala besar di hulu sungai Air Lelangi. Izin HGU ini dikantongi oleh PT. Alno Agro Utama sejak 2002. Ada juga Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Alam (IUP-HHKHA) PT. Anugrah Pratama Inspirasi (PT. API) yang diterbitkan pada 2009 dan diadendum pada 2017 karena perluasan izin, yang sebelumnya 33.070 hektar menjadi 41.988 hektar. Sejak kedua izin ini diterbitkan oleh negara, sejak saat itu juga kerusakan hutan di hulu sungai Air Lelangi terus meningkat. Sekarang, hutan-hutan terus berubah menjadi perkebunan monokultur.
Bukan hanya itu, hutan di hulu sungai Air Lelangi sebelumnya juga pernah dikapling untuk Izin Usaha Pertambangan (IUP) emas. Bukan tidak mungkin kedepannya izin tambang emas diterbitkan lagi. Belum lagi batu bara yang sangat potensial di wilayah itu.
Saat ini ada aktivitas galian C yang juga sangat mengancamcam sungai Air Lelangi. Galian C ini telah mengubah aliran sungai. Badan aliran sungai Air Lelangi semakin kecil, kejerniannya juga semakin berkurang.
Jadi Langganan Kekeringan, dan Kebanjiran
“Terasa betul air berkurang sekarang ini” ibu Darnawati menceritakan bagaimana kondisi kekeringan air jadi sering sekali mereka hadapi. Kekeringan ini bukan hanya menjadi lebih sering dihadapi oleh ibu Darnawati di kampungnya Tanjung Dalam, tetapi dihadapi juga oleh warga di kampung sebelahnya, Tanjung Harapan.
“Sekarang itu, tidak hujan dua hingga tiga hari, sumur-sumur kami sudah kering. Baru saja, kira-kira dua minggu lalu, sumur kering dan semua warga pergi ke sungai” kata Darmaismanto. Darmaismanto warga Tanjung Harapan yang saat itu juga menemani kami bertemu dengan ibu Darnawati, pak Paiman, juga menemani kami untuk melihat langsung kondisi sungai Air Lelangi.
Siang itu (23/03/2021) ibu Darnawati dan Darmaismanto, saling bertukar cerita perubahan-perubahan sungai Air Lelangi. Mereka memang dipisah secara administrasi, satu hidup di kampung Tanjung Dalam, satu di kampung Tanjung Harapan. Dari situ kemudian mereka saling menyadari bahwa tak ada yang berebeda dari ruang hidup mereka. Rusaknya wilayah hutan di hulu sungai Air Lelangi akibat aktivitas perekebunan monokultur, penebangan hutan serta galian C membuat mereka harus menanggung kekeringan air.
“Bukan Cuma kekeringan, banjir pun sekarang lebih sering datang” sambung Darmaismanto. “Yang jelas, kalo hujan sehari saja, sudah pasti akan banjir”.
Banjir besar yang melanda Bengkulu pada 2019 lalu ternyata juga mereka alami. Sungai Air Lelangi menguap. Kekeringan air saat musim kemarau dan kebanjiran saat musim hujan, menjadi situasi yang pasti saat ini. “Sejak pembukaan hutan di atas sungai ini besar-besaran, kekeringan dan banjir terus kami alami” kata Darmaismanto.
Air Lelangi Untuk Anak Cucu.
Diakhir percapakan, kami selalu bertanya apa harapan mereka tentang Air Lelangi. Satu harapan mereka, sungai mereka tetap terjaga dan lestari sehingga tetap bisa digunakan hingga anak cucu nanti. Karena sumber air yang sangat melimpah berada di sungai. “Tidak bisa kami bayangkan, bagaimana jika sungai Air Lelangi rusak, tidak bisa dipakai. Bagi kami yang sudah sejak turun temurun beraktivitas di sungai, sulit untuk merubah kebiasaan itu” tutur ibu Darnawati.
Recent Comments