Oleh : Uli Arta Siagian
Saya tidak habis fikir meskipun dalam situasi genting seperti ini pemerintah dan DPR RI masih saja tetap ngotot membahas dan mengesahkan omnibus RUU Cipta Kerja. Sebelumnya saya berfikir krisis pandemi COVID-19 ini dapat menahan birahi mereka untuk berhenti membahas dan mengesahkan omnibus. Saya ternyata salah dan saya menyesal telah memikirkan itu.
Omnibus Cipta Kerja yang sejak awal telah diprotes oleh masyarakat tersebut digadang-gadang sebagai jawaban dari persoalan ekonomi negeri ini. Kemudahan berinvesatsi akan dijamin melalui RUU ini, jalan tol bagi pemodal, sekaligus jalan tol bagi penurunan kualitas ekologis dan kualitas hidup rakyat. Mulai dari dihilangkannya terminologi izin lingkungan, direduksinya AMDAL yang hanya sebagai pertimbangan, “pertanggung jawaban mutlak tanpa perlu dibuktikan” dalam UU PPLH, menghapus gugatan administratif, menghilangkan hak rakyat untuk menyatakan menolak jika ada proyek pembangunan atau investasi yang akan mengancam kehidupan mereka.
RUU Cipta Kerja yang berwajah kapitalis ini melihat tanah, air, hutan dan tenaga kerja hanya sebatas material yang layak untuk dieksploitasi. Mengerikan bagi saya membayangkan krisis yang akan terjadi dimana-mana. Izin-izin tambang yang akan semakin massif dengan lama izin akan seumur tambang. Hutan-hutan akan dibongkar, tanah-tanah rakyat akan dirampas semua atas nama proyek strategis nasional. Pengusaha akan mengantongi hak guna usaha selama sembilan puluh tahun.
Saat ini saja, kita sudah melihat krisis dimana-mana. Massifnya izin pertambangan melahirkan krisis ekologis, bencana banjir dan longsor. Krisis pangan sebab, lahan-lahan pertanian berubah menjadi lubang-lubang pengerukan tambang. Krisis air, sebab sungai dijadikan tempat pembuangan limbah dan tempat pencucian batu bara. Krisis udara, sebab mobilitas angkutan hasil tambang yang tinggi, diperparah dengan abu pembakaran PLTU yang membunuh secara perlahan. Krisis identitas, sebab kultur sosial, adat-istiadat yang berlaku di masyarakat, serta relasi religiuitas antara manusia dan alamnya tergerus bahkan mungkin hilang, setelah masuknya pertambangan ataupun perkebunan monokultur skala besar. Krisis iklim, pemanasan global menyebabkan lapisan es atau puncak es mencair lebih cepat, permukaan air laut yang meningkat. Pulau-pulau kecil dan terluar di Indonesia akan banyak yang tenggelam, bahkan pulau besar pun akan terancam, seperti Jakarta.[1] Maka masa depan seperti apa yang kita harapkan, jika cara pengurus negara tidak berubah dalam memperlakukan alam?
Bukan hanya itu, korupsi di sektor perizinan pun terjadi hampir di seluruh daerah. Mulai dari desa hingga pusat. Bahkan menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), korupsi di sektor perizinan adalah korupsi terbesar kedua yang mereka tangani.[2] Saya rasa belum lekang dari ingatan kita terkait kasus korupsi yang dilakukan oleh Gubernur Sulawesi Tenggara non aktif Nur Alam, eks Gubernur Riau Annas Maamun, Suheri Terta, Bupati Kotawaringin Timur, Supian Hadi, kasus mereka adalah bukti rentannya korupsi di sektor perizinan, baik izin tambang dan izin kehutanan. Negara harus menanggung kerugian dari lemahnya pengawasan perizinan dan mudahnya sistem penerbitan. Namun sayangnya pengurus negara tidak mau belajar dari realitas yang terjadi.
Seperti tidak cukup dengan melahirkan krisis-krisis seperti yang saya sebutkan diatas, keputusan pengurus negara untuk mengantungkan ekonomi pada industri ekstraktif yang berbasis pasar global juga menyebabkan terjadinya konflik agraria dimana-mana. Sepanjang tahun 2018 KPA mencatat sedikitnya telah terjadi 410 kejadian konflik agraria dengan luasan wilayah konflik mencapai 807.177,613 hektar dan melibatkan 87.568 KK di berbagai provinsi di Indonesia. secara akumulatif sepanjang empat tahun (2015 – 2018) pemerintahan Jokowi-JK telah terjadi sedikitnya 1.769 ledakan konflik agraria di Indonesia, dengan presentasi sektor perkebunan 144 (35%) konflik, sektor properti 137 (33%), sektor pertanian 53 (13%), pertambangan 29 (7%), sektor kehutanan 19 (5%) konflik, sektor infrastruktur 16 (4%) dan terakhir sektor pesisir/kelautan dengan 12 (3%).[3]
Persoalan-persoalan ini tidak pernah selesai, bahkan mungkin tidak ingin diselesaikan oleh pengurus negara. Sistem politik di negara ini pun tidak mampu menjadi ruang untuk merubah itu. Sistem hukum, produk-produk legislasi yang ada bahkan hanya menjadi legitimasi massifnya aktivitas industri ekstraktif dan krisis. Omnibus hadir melengkapi wajah hukum Indonesia yang berjalan mundur dan sangat neolib.
Apa yang telah terjadi ini telah memukul kita berkali-kali. Saya fikir sudah saatnya kita bangkit dan memberikan pukulan yang lebih. Ada beberapa hal yang saya fikir bisa kita lakukan saat ini. Pertama, kita harus menggerakan gerakan solidaritas rakyat menjadi gerakan solidaritas yang kritis sekaligus memperkuat pendidikan kritis komunitas, mulai dari desa hingga kota. Perempuan, laki-laki. Petani, nelayan, buruh, masyarakat adat harus saling bersolidaritas, melawan tindakan pengurus negara yang seenaknya. Melawan sistem neolib yang salah satunya dinyatakan lewat produk hukum, omnibus RUU Cipta Kerja. Kita perlu menyatakan sikap tidak percaya kita pada pengurus negara. Gerakan harus massif, meskipun gerakan cukup terbatas disituasi pandemi ini. Bisa dengan memanfaatkan arus yang tidak terbatas melalui teknologi.
Kedua, kita perlu memikirkan ulang sistem politik kita hari ini. Pemilu yang selama ini diklaim sebagai ruang demokrasi adalah sesuatu yang semu, membuat rakyat tidak berdaulat bahkan menciptakan krisis yang semakin besar. Kita tidak memiliki hak untuk menarik mandat yang diberikan kepada para wakil, kepala daerah dan kepala negara. Kita perlu membangun hak untuk menarik kembali mandat jika para pengurus negara yang kita pilih tidak menjalankan mandat rakyat.
Ketiga, kita harus benar-benar serius membangun gerakan politik rakyat. Tidak lagi cukup hanya dengan diskusi-diskusi di forum, kita perlu sesuatu yang praksis. Kita harus melakukan pendidikan politik di komunitas-komunitas, karena sistem politik pragmatis dan transaksional selama ini membuat tidak sedikit rakyat menjadi pragmatis dan transaksional tidak bisa dinafikan. Kita harus membongkar realitas, bahwa krisis yang ada saat ini adalah buah dari sistem yang juga krisis, bukan lahir di ruang yang hampa. Jika kita membutuhkan partai sebagai alat politik, maka kita harus bangun bersama.
Keempat, saya fikir sekarang adalah saat nya kita mengubah cara baca kita terhadap ruang hidup. Ruang hidup bukan hanya sebatas administrasi tetapi pengalaman hidup bersama. Kita harus meletakkan keselamatan kita, produkitivitas kita dan keberlajutan fungsi alam sebagai hal yang paling dasar. Kita sudah tidak punya waktu yang lama untuk memulihkan krisis yang terjadi di depan mata, kita tidak bisa lagi menunggu negara untuk menyelesaikan krisis, karena semua ini adalah hal-hal yang tidak pernah selesai ditangan mereka.
Cara produksi dan konsumsi kita harus berubah. Cara produksi dan konsumsi yang memperhatikan keberlanjutan fungsi alam. Produksi dan konsumsi yang selama ini masuk dan diintervensi oleh sistem pasar, harus kita pangkas. Kita bisa memproduksi apa yang menjadi kebutuhan kita, seperti memproduksi pangan yang kita butuhkan. Beberapa komunitas sudah membangun sistem ini. Contoh apa yang dibangun oleh pesantren ekologi Ath Taariq, membangun model pertanian itu dengan model pertanian yang alternatif, model yang menjaga soal lingkungan, soal ekologi, soal hubungan manusia dengan alam. Mereka memproduksi apa yang mereka konsumsi.
Kita harus belajar banyak dari apa yang terjadi hari ini. Pandemi ini membongkar betapa rapuhnya ekonomi kapitalistik, ekonomi yang bergantung pada pasar global saat berdampak. Daerah-daerah yang dikepung tambang, perkebunan skala besar lebih rapuh saat ini. Mereka bergantung pangan dari daerah lain dan juga mereka kehilangan daya beli. Krisis pangan dan ekonomi ada di depan mata mereka. Tetapi di daerah lain yang masih dapat memproduksi pangan, seperti sayur, beras, dan jasa layanan sungai yang masih baik meyediakan ikan yang dapat dikonsumsi. Kampung-kampung yang masih memiliki jasa layanan alam yang baik, saat ini masih menjalani kehidupan mereka seperti biasa, pandemi hanya membuat mereka harus berwaspada, bukan ketakutan.
Saat saya menuliskan tulisan ini, bahkan hingga kedepannya saya masih yakin bahwa kekuatan rakyat lah yang dapat menyelesaikan hal-hal yang tidak pernah selesai ditangan pemerintah. Kita hanya harus semakin serius membangun gerakan kita.
[1] https://internasional.kompas.com/read/2017/11/20/17584121/nasa-es-di-kutub-mencair-empat-kota-di-indonesia-terancam
[2] https://republika.co.id/berita/q5ladn354/korupsi-sektor-perizinan-jadi-terbesar-kedua-ditangani-kpk
[3] Catatan KPA;2018 dapat diakses di http://kpa.or.id/assets/uploads/files/publikasi/4ae36-catahu-2018-kpa-edisi-peluncuran_.pdf
Recent Comments