Musleha tidak pernah berfikir bahwa tanah yang dia tinggali dan kelola sejak 1990 dijadikan konsesi izin perkebunan kelapa sawit. Meledak amarahnya ketika menceritakan bagaimana alat berat meratakan tanah yang tak sampai satu meter jaraknya dengan tanah yang dia miliki. Belum lama dia tahu tanahnya jadi konsesi HGU PT. Ciptamas Bumi Selaras. Tepatnya 2015 yang lalu, ketika keluarganya dan masyarakat dusun lainnya mengurus sertifikasi tanah melalui PRONA.
Setelah dokumen usulan disampaikan ke Badan Pertahanan Nasional (BPN) Kabupaten Kaur, hasilnya bidang tanah yang berdiri bangunan rumah milik kurang lebih 132 KK diterima untuk disertifikasi melalui program PRONA. Sedangkan bidang lahan kebun milik 270 KK dan bidang tanah yang berdiri bangunan milik 10 KK ditolak, karena ditetapkan masuk dalam konsesi HGU milik perusahaan yang tergabung Ciputra Grup Plantation tersebut.
Sampai saat ini, belum ada kepastian hukum atas tanah milik Musleha dan masyarakat lainnya. Setiap mengingat tanahnya dicaplok perusahaan, otaknya selalu memanggil seluruh ingatan cerita perjalanan hidupnya atas tanah, di tahun-tahun awal kedatangannya di dusun Kulik Sialang. Musleha dan hampir seluruh masyarakat Kulik Sialang adalah transmigrasi mandiri dari Lampung. Meskipun desa Muara Dua adalah desa tua di Kaur, tempat hidup masyarakat adat suku Smende, kini telah banyak ditinggali oleh masyarakt transmigrasi dari Lampung, khususnya di dusun Kulik Sialang.
“Saya selalu ingat susah payahnya hidup dan berkebun di dusun yang minim sekali akses seperti Kulik Sialang. Tahun 90 an itu belum ada motor di dusun, kemana-mana harus jalan kaki. Termasuk mengangkut hasil kebun, kopi, karet itu digendong dari kebun ke tempat pengumpulan. Setiap ingat itu menetes air mata saya” katanya sambil mengelus-elus dadanya sendiri.
Secara historis, masyarakat telah tinggal di dusun Kulik Sialang sejak 1988. Ada 15 Kepala Keluarga (KK) yang datang dari Jawa Barat, Lampung dan masyarakat lokal. Mereka datang secara mandiri, bermukim dan membuka lahan-lahan pertanian.
Muara Dua dipaksa melalui dua rezim ekstraksi. Tahun 1970-an rezim eksploitasi kayu alam, dengan diterbitkannya izin Hak Pemamfaatan Hutan (HPH) untuk PT. Bengkulu Raya Timber (PT. BRT). Masuk dan beraktivitasnya perusahaan ini secara langsung membuka akses jalan ke dusun dan wilayah-wilayah lain sekitar konsesi mereka. Terbukanya akses membuat semakin banyak masyarakat yang masuk ke dusun. Setelah PT. Bengkulu Raya Timber, eksploitasi kayu dilanjutkan oleh PT. Inhutani V dan pada 2002 dilanjutkan dengan PT. Semaku Jaya Sakti. Perusahaan-perusahaan ini bukan hanya mengahabiskan hutan di kabupaten Bengkulu Selatan dan kabupaten Kaur, tetapi melakukan ilegal logging di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).
Selanjutnya 2013, bupati Kaur menerbitkan izin Hak Guna Usaha (HGU) untuk Ciputra Grup Plantation, PT. Ciptamas Bumi Selaras. Muara Dua bukan satu-satunya desa yang dicaplok oleh Ciputra Grup ini. Desa-desa lainnya adalah Air Palawan, Pasar Jumat, Trijaya dan Sumber Rejo. Izin ini seperti terbit di ruang hampa. Tidak berpenghuni, tidak ada kehidupan. Tetapi penerbitannya pasti tidak lahir dari ruang yang hampa.
Musleha tidak sendirian memuncahkan amarah atas terbitnya izin HGU yang sepihak tersebut. Siang itu (1/3/2019) sekitar lima belas orang perempuan berkumpul di rumah sederhana milik Siti Soleha.  Berkumpulnya para perempuan dusun Kulik Sialang ini menjadi titik balik untuk saling mengorganisir kesadaran dan perlawanan. Tuturan penolakan dari mereka, cerita pengalaman serta pengetahuan mereka terhadap keberlanjutan ruang hidup adalah kemewahan untuk dilewati begitu saja.
Mereka saling mengingat, perubahan-perubahan yang dialami oleh lingkungan sekitar mereka paska perusahaan sawit masuk. Dengan pengalaman sehari-hari mereka, analsis ekologis mulai dilakukan bersama-sama. Daftar hilangnya keseimbangan ekologis  dihasilkan. Pertama, terjadi perubahan terhadap debit air. Sumber air masyarakat dusun Kulik Sialang berasal dari sebuah bukit yang bernama Kayangan. Bukan hanya untuk dusun Kulik Sialang, tetapi desa Muara Dua, desa Air Palawan dan desa Sumber Harapan bergantung air dari bukit Kayangan tersebut. Bukan hanya kebutuhan air untuk aktivitas sehari-hari, berlimpahnya air yang bersumber dari bukit Kayangan, memenuhi kebutuhan energi masyarakat di sana. Airnya jadi sumber PLTMH.
“Tetapi sekarang airnya makin berkurang, kadang itu kalau kita mau mupuk (memupuk) kebun, jadi terkendala karena airnya kurang. Dulu gak pernah begitu. Cahaya lampu dari listrik juga berkurang, pengaruh airnya gak banyak lagi. Sejak perusahaan menanam sawit di dekat bukit Kayangan,” kata Siti Soleha.
Berdasakan analisis citra satelit yang dilakukan oleh Genesis Bengkulu, aktivitas perkebunan milik PT. CBS hingga ke bukit Kayangan. Maka menjadi wajar kemudian terjadi pengurangan debit air di dusun tersebut.
Selanjutnya menurut mereka, babi semakin sering turun dan merusak tanaman kebun mereka. Mereka percaya intensitas babi masuk ke dusun mereka karena hutan-hutan di sekitar bukit kayangan dan dusun mereka telah berubah menjadi kebun kelapa sawit. “Gimana gak masuk dusun dan merusak tanaman, hutan sudah berubah jadi kebun sawit. Perusahaan jaga kebunnya supaya gak masuk babi, terus babi akhirnya ke kebun-kebun kami” kata Musleha.
Selain itu, hawa juga terasa berubah. Semakin panas kata mereka. Tanah berubah menjadi lebih gersang. Cabe-cabe hasilnya menjadi tidak memuaskan.
Tanah bagi perempuan Kulik Sialang adalah kehidupan. Ada pengalaman, ada ingatan yang tidak pernah bisa digantikan oleh apapun. Tanah juga yang membuat mereka bertahan dan mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kebutuhan sekolah anak-anak mereka. itu adalah alasan utama mereka tidak ingin menjual tanah milik mereka kepada perusahaan.
“Gak pernah terfikir bagi saya untuk menjual tanah. Tanah ini adalah satu-satunya tempat hidup kami, tempat kami mencari nafka. Kalau pemerintah kasih tanah kami ke perusahaan, kami mau kemana lagi?” kata Siti Soleha. Tidak ada ekpresi sedih pada wajahnya, yang ada adalah aura juang yang kuat. Sesungguhnya memangnya perjuangan harus dilakukan dengan semangat dan gembira.
Perjuangan Rakyat Merebut Hak Mereka Atas Tanah.
Perusahaan milik Ciputra Grup ini mengantongi izin HGU seluas 4164 hektar dengan tiga izin HGU : (1) 131/HGU/BPN RI/2013 ; (2) 01/HGU/BPN.17/2015 ; dan (3) 07/HGU/KEMATR-BPN/2016 di kecamatan Nassal dan Maje, kabupaten Kaur. Tetapi secara umum perusahaan ini mengantongi izin pencadangan dan Izin Lokasi seluas 9.875 Hektar.
Meskipun izin keluar di 2013, tetapi sejak 2011 perusahaan telah masuk ke desa dan penawaran untuk jual-beli lahan milik masyarakat atau plasma dengan pembagian 40:60 (40% untuk masyarakat dan 60% untuk perusahaan). Ditahun yang sama, perusahaan juga melakukan pembibitan tanaman sawit.
“Tahun 2012 perusahaan menanam kelapa sawit di Muara Dua untuk pertama sekali. Tahun 2013, beberapa masyarakat di desa Muara Dua menjual tanahnya, tetapi di dusun Kulik Sialang hanya sedikit saja yang menjual tanahnya. 95% masyarakat memilih untuk mempertahankan tanah” tutur Sritono, kepala dusun Kulik Sialang.
Saat itulah konflik mulai muncul dipermukaan.
Masyarakat dusun Kulik Sialang tidak diam. Setelah mengetahui bahwa tanah mereka dijadikan konsesi HGU PT. CBS, mereka melakukan desakan kepada pemerintah kabupaten maupun provinsi. Mendesak pemerintah untuk mengeluarkan izin HGU perusahaan dan melegalisasi tanah milik mereka.
Setelah ajuan PRONA mereka ditolak pada 2015, tahun 2016 mereka mengajukan ulang redistribusi tanah, tetapi tetap ditolak. 28 April 2016, atas desakan masyarakat akhirnya BPN memfaslitasi pertemuan antara masyarakat dan perusahaan. Pertemuan itu menghasilkan surat yang berisi pernyataan pihak PT. CBS tidak akan menggarap lahan konsesi yang masuk ke dalam pemukiman ataupun kebun masyarakat. Surat tersebut ditandatangani oleh manager perusahaan. Meskipun begitu, hingga saat ini masyarakat masih berjuang mendapatkan kepastian atau legalitas tanah tanah milik mereka.
Harmoko, tokoh masyarakat desa Muara Dua mengatakan bahwa telah berulang kali dia, kepala dusun dan masyarakat dusun menemui bupati, menagih keberpihakan bupati kepada rakyat dengan mengeluarkan izin HGU dari tanah masyarakat. Tetapi hingga kini tidak ada hasil. Tidak ada keberpihakan kepada rakyat. “Memang masyarakat harus berjuang sendiri mendapatkan haknya” tutur pak De Moko, panggilan biasa masyarakat kepada Moko.
Januari yang lalu, masyarakat mengirimkan surat kepada gubernur, dengan perihal usulan sertifikasi tanah kebun. Bersama dengan surat tersebut juga dilampirkan dokumen yang berisi 213 tandatangan masyarakat yang berkonflik, historis dusun Kulik Sialang dan kronologis perjuangan yang telah dilakukan masyarakat. Surat tersebut juga ditembuskan kepada presiden, DPR RI, Kementerian ATR/BPN, KPK, Ombusman Nasional dan provinsi, DPRD Provinsi dan kabupaten,  BPN Provinsi dan kabupaten Kaur, bupati Kaur, polda Bengkulu, dan polres Kaur, Dinas Perkebunan provinsi dan kabupaten Kaur, Camat Nassal, PT. CBS, Genesis Bengkulu dan Kepala desa Muara Dua.  Tetapi belum ada respon pasti terkait surat yang mereka kirimkan.
6 Maret lalu masyarakat kembali menyerahkan dokumen usulan redistribusi tanah kepada BPN Kabupaten Kaur.  Dokumen usulan Redistribusi tanah ini kembali mereka serahkan atas usul BPN, setela berkali-kali ditemui oleh masyarakat.
Akankah NAWACITA berlaku untuk Kulik Sialang?
Redistribusi tanah yang menjadi salah satu bagian dari program reforma agraria rezim Jokowi akan diuji keseriusannya dalam kasus yang dialami masyarakat Kulik Sialang. Dipenghujung kepemimpinan Jokowi, banyak masyarakat dan kelompok masyarakat sipil lainnya menagih janji Jokowi untuk melakukan reforma agraria. Termasuk masyarakat Kulik Sialang, mereka menagih janji itu.
26 Februari lalu, presiden Jokowi melakukan rapat terbatas bersama jajaran menterinya dan beberapa kepala daerah, termasuk Rohidin Mersya, gubernur Bengkulu. Presiden dan gubernur Bengkulu menyatakan komitmen untuk menyelesaikan konflik dan sengketa agraria di Bengkulu. Dua bulan waktu yang diberikan presiden kepada Rohidin untuk menyelesaikan konflik-konflik tersebut.
Akankan pemerintah, baik bupati, gubernur maupun presiden menepati komitmen mereka?. jelasnya masyarakat Kulik Sialang dan bahkan masyarakat lainnya yang tengah berkonflik dengan perusahaan menunggu komitmen tersebut. Kasus-kasus agraria di Bengkulu menjadi penguji keberpihakan negara, dalam hal ini pemerintah terhadap kepentingan rakyat atau malah kepentingan kapital.
(Oleh : Uli Arta Siagian, Genesis Bengkulu)