Pagi Jumat (8/11/2019) sekira pukul 11.00 wib, para perempuan dusun Kulik Sialang perlahan memenuhi rumah Siti Soleha. Sebagai kepala dusun, rumah Siti Soleh memang tak jarang menjadi tempat berkumpul masyarakat. Berduyun-duyun  mereka datang, setelah selesai mengikuti pengajian seperti biasanya. Pengajian khusus untuk perempuan, mulai pukul 09.00 hingga 11.00 wib.

Setelah dua bulan lalu kami memutuskan untuk membuat kelas belajar bersama, hari ini hingga Sabtu adalah kelas pertama. Pada kelas belajar pertama ini kami sama-sama belajar tentang apa itu gender, bagaimana peranan penting perempuan dalam ruang-ruang strategis di kampung, dalam pembangunan kampung. Bagaimana peran ganda perempuan di ruang domestik dan publik, secara khusus pekerjaan berkebun.

Metode belajar kami sederhana : masing-masing peserta menuliskan bagaimana aktivitas mereka di ruang privat (keluarga) dan di kebun pada metaplan. Metaplan berwarna hijau untuk aktivitas di privat dan yang berwarna merah jambu untuk aktivitas di kebun. Mulai dari senyum-senyum sendiri, tertawa, melihat isi metaplan teman kanan-kiri hingga serius, ekspresi perempuan-perempuan tersebut. Ada yang mengaku lama tidak menulis, ada yang kebingungan apa yang ingin ditulis, ada pula yang terfikir apa yang ingin ditulis tetapi binggung ketika ingin menuliskannya.

Ada yang menulis sambil menyusui anaknya. Ada yang kesusahan menulis karena penanya dipegang dan diinginkan oleh anaknya. Suara anak menangis karena berebut kertas, pena hingga makanan ringan. Suasana khas dari ruang belajar perempuan. Meskipun begitu tidak ada beban pada wajah mereka. Semua terlihat bahagia.

Dari tulisan mereka, dapat dilihat bahwa para perempuan melakukan kerja ganda. Bagaimana tidak, pekerja domestik masih dikerjakan sepenuhnya oleh mereka. Belum ada kesadaran untuk membagi kerja dalam rumah tangga. Begitu juga di kebun, perempuan melakukan kerja-kerja membersihkan kebun, memetik kopi, memupuk kopi, serta mengusahakan tanaman lain di sela-sela tanaman kopi dan lada milik mereka, seperti cabe, tomat, dan sayuran terong, lumai.

Kata mereka “di rumah, semua kami kerjakan. Di kebun, hanya satu yang tidak kami kerjakan yaitu menebang pohon-pohon besar yang ada dikebun, selebihnya kami kerjakan.”

Kerja ganda itu pada sisi lain membuktikan bahwa mereka (perempuan) bukan aktor cadangan dalam pengelolaan sumber-sumber penghidupan. Mereka aktor kunci. Aktor kunci dalam memastikan keberlanjutan sumber-sumber penghidupan dan keberlanjutan reproduksi sosial keluarga, bahkan yang lebih luas, dusun Kulik Sialang, kampung mereka.

Perempuan Kulik Sialang, keselamatan tanah dan keluarga adalah keniscayaan. “Tanah adalah sumber kehidupan” adalah pernyataan yang keluar dari mulut mereka. Semangat dan pendirian ini penting mengingat hingga hari ini tanah mereka masih diklaim oleh perusahaan sawit sebagai konsesi izin mereka. Sejak 2015 mereka berjuang mendapatkan hak milik atas tanah yang telah mereka kelola sejak 90 an. (baca di http://genesisbengkulu.or.id/index.php/2019/03/12/tanah-rakyat-di-kaur-dijadikan-hgu-ciputra-grup-plantation/ )

Saat ini sebagian masyarakat Kulik Sialang tengah menunggu legalitas hak atas tanah, setelah mereka berjuang sejak Januari lalu. Sebanyak kurang-lebih 500 persil sertifikat akan keluar akhir tahun ini. Tanah tersebut sempat ditolak oleh BPN untuk disertifikasi sejak 2015 lalu, karena tumpang tindih dengan IUP milik perusahaan sawit, PT. Ciptamas Bumi Selaras. Sekitar 140 an hektar lagi masih ditolak oleh BPN, karena tanah milik mereka tumpang tindih dengan HGU. Tetapi mereka tetap akan berjuang agar seluruh tanah dapat mereka miliki secara de jure.

Satu kritikan, dalam perjuangan mendapatkan hak milik atas tanah tersebut, keterlibatan perempuan Kulik Sialang tidak terlalu besar. Mereka mengakuinya. Mereka tidak dilibatkan dalam pendiskusian-pendiskusian, penyusunan strategi dan lainnya. Hal yang banyak terjadi di masyarakat patriarki. Kondisi itu yang kemudian menjadi alasan penting mereka untuk bersepakat membangun kelas belajar. Kesadaran bahwa mereka punya hak yang sama untuk berjuang mempertanahkan tanah, karena mereka bukan aktor cadangan.

Sesi pertama, kelas belajar ini juga memberikan kesadaran bahwa penting bagi mereka terlibat dalam pertemuan penting di desa. Pertemuan yang membahas soal tanah, soal pembangunan dan lainnya. Belum ada aktor lain yang dapat membawa dan memperjuangkan agenda perjuangan dan kepentingan bersama perempuan, selain perempuan itu sendiri.

Tak terasa, jam menunjukan pukul 13.00 wib. Diawal memulai kelas, kami membangun konsensus waktu belajar, 13.30 wib paling lama kegiatan belajar. Kami menutup sesi pertama kelas belajar dengan semangat yang bertambah. Para perempuan ini bersepakat untuk menyampaikan apa yang mereka pelajari di kelas belajar pada suami mereka. Soal kerja ganda, pembagian kerja dan hak untuk terlibat dalam pertemuan-pertemuan strategis desa.

Sesi Kedua Kelas Belajar.

Mesjid Kulik Sialang kami pilih menjadi tempat belajar sesi kedua. Sabtu, pukul 14.00 wib kami belajar bersama tentang tanah sebagai Hak Azazi Manusia (HAM). Sesi kedua ini terlihat berbeda dari sebelumnya, beberapa orang kaum bapak ikut dalam kelas belajar.

Tanah sebagai HAM menjadi penting sebagai materi belajar kelas belajar perempuan ini, mengingat kasus yang tengah mereka hadapi serta ancaman kedepannya. Kami memulai kelas belajar dengan menonton film “Samin VS Semen” diproduksi oleh Watchdoc. Film berdurasi hampir 40 menit ini seperti infus yang berisi suplemen semangat bagi peserta. Mereka mengutarakan kesadaran akan pentingnya mempertahankan tanah, mempertahankan keberlanjutan fungsi layanan alam dan membangun gerakan perlawanan yang terkonsolidasi antar desa.

Mereka sangat tahu bahwa bukan hanya dusun Kulik Sialang yang secara administrasi masuk dalam desa Muara Dua yang dikpaling oleh perusahaan sawit. 14 desa lainnya di kecamatan Nassal, kabupaten Kaur dikapling oleh izin perusahaan, anak dari Ciputra Grup Plantation.

“Yang penting itu gimana kita sama-sama menjaga tanah, menjaga lingkungan dari ancaman perusahaan dan terus belajar” kata Siti Soleha menanggapi film.

Setelah menonton, peserta mendengarkan penyampaian materi terkait tanah adalah bagian dari HAM. Proses belajar pun ditutup dengan mendiskusikan bagaimana gerakan menjaga tanah, menjaga hutan dan menjaga sumber air dari ancaman perusahaan dilakukan oleh semua masyarakat desa yang diklaim oleh perusahaan. Kami menyadari bahwa putaran belajar bersama menjadi cara yang strategis untuk membangun konsolidasi. Penyebarluasan pengetahuan atas hak, keadilan pengelolaan sumber-sumber penghidupan serta keberlanjutannya menjadi pekerjaan yang penting dan harus dilakukan sejak saat ini.

Setiap masyarakat, tanpa mengenal perempuan atau laki-laki, kelas sosial harus mengambil bagian dalam perjuangan. Mimpi kami bersama, gerakan ini harus meluas agar semakin kuat, dan kami percaya itu bisa dimulai dari perempuan.