“Hutan mengaliri air yang kita butuhkan dan tempat tinggalnya hewan-hewan liar. Terjaganya hutan akan membuat air sungai selalu mengalir, udara di desa tetap sejuk sehingga kehidupan kita terhindar dari bencana”  Rasmini (40 tahun)

Dalam temaram di beranda depan rumah, ibu Rasmini menuturkan imajinasinya. Tetapi sore itu, imajinasi ibu Rasmini lebih tepat menjadi kritik atas kondisi hutan di Gajah Makmur yang terus hilang. Hutan terus berganti menjadi kebun monokultur, seiring sejalan dengan massifnya izin-izin perkebunan monokultur skala besar dan izin usaha pengelolaan hutan di kampung tersebut. Kampung Gajah Makmur yang gajah nya tak lagi aman dan rakyatnya tidak juga makmur.

Gajah Makmur adalah salah satu desa yang terletak di kecamatan Malin Deman, Kabupaten Mukomuko. Memiliki luas wilayah seluas 1.324,50 ha dengan jumlah penduduk sebayak 1.134 jiwa. Gajah Makmur dikepung oleh perusahaan perkebunan sawit PT. Daria Dharma Pratama, perusahaan perkebunan sawit PT. Alno Agro Utama, perusahaan pengelolahan kawasan hutan PT. Anugerah Peratama Inspirasi.

Opresi perusahaan sawit dan lemahnya kemampuan negara memproteksi hasil komoditi rakyat pada akhirnya membuat mereka memilih sawit menjadi tanaman kebun mereka. Jatuh bangun memilih komoditi, mulai dari bertani sawah, kopi, karet, hingga sawit.

Pilihan ini berubah menjadi candu. Kini sawit ditanam tidak lagi melihat fungsi dari wilayah. Sawit ditanami hingga ke bibir sungai. Akibatnya air sungai makin tahun semakin surut.

Kalam (23 tahun), menuturkan “Dulu air sungai kita lebar dan dalam namun setelah masyarakat desa mulai menanam sawit hingga kepinggir sungai sehingga sekarang mengakibatkan air sungai menjadi surut dan keruh. Ketika cuaca panas seharian maka air sungai makin surut namun ketika hujan air sungai meluap hingga keatas jembatan.

Massifnya perusahaan sawit dan perusahaan pemegang izin pengelolaan hutan membuka akses yang besar bagi orang-orang dari luar kampung masuk ke dalam kawasan hutan dan mengubah hutan menjadi kebun sawit dan kebun jeruk. Bahkan, beberapa oknum mengusai hutan dengan luasan yang besar.

Bukan hanya rakyat di Gajah Makmur yang merasakan dampak ekologis dari kepungan sawit dan deforestasi hutan, gajah sumatera pun kehilangan habitatnya. Tidak jarang terjadi konflik antara rakyat dan gajah.

Gutomo, Kepala desa Gajah Makmur menyampaikan bahwa “Konflik yang terjadi antara manusia dan hewaan gajah didesa kami disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri karena telah merusak habitat dan tempat mencari makan hewan gajah karena hewan itu tidak pernah berniat untuk berkonflik dengan manusia tetapi  manusialah yang menciptakan konflik dengan hewan karena keserakahannya.”

Dengan cukup detail, Taufik Hidayat menjelaskan kejadian saat gerombolan gajah menyerang kebun warga. “Ada dua masyakat yang memiliki kebun jeruk di kawasan hutan yaitu Pak Panji dan Pak Baginok yang berasal dari Air muring dan Kab. Mukomuko  dengan luasan masing-masing ± 1 hektar, di kebun-kebun ini pernah terlihat Gerombolan gajah berkisar 13 ekor mencari makan dan beristirahat disana. Ketika kebun-kebun tersebut dirusak oleh kawanan gajah, kami perangkat desa tidak ada yang mau membantu pemilik kebun jeruk karena mereka yang bersalah kerena telah memrusak habitat hewan tersebut.

Ekspansi izin skala besar di Gajah Makmur, membuat rakyat, lingkungan dan gajah Sumatera menderita.