Perempuan di dusun Kulik Sialang, Kaur, telah mengorganisir diri sejak 2019 lalu. Belajar bersama tentang gender, hak atas tanah dan hak perempuan adalah HAM, kepemimpinan perempuan, keadilan ekologis serta membangun ekonomi alternatif lokal yang meletakan kelestarian dan keselamatan untuk menandingi ekonomi ekstraktif yang mulai menggerogoti kampung mereka. Mereka menyebut media belajar bersama ini “Kelas Belajar Perempuan”. Mereka juga menamai kelompok mereka “Perempuan Pelestari Bukit Kayangan”.

Kira-kira sejak empat bulan yang lalu, para perempuan ini bersama-sama membangun sebuah kebun seluas 75 meter yang mereka kelola secara komunal. Tanah kebun itu merupakan tanah dusun. Para perempuan ini berhasil menyakinkan pemerintah dusun untuk memberikan tanah dusun agar dapat mereka kelola. Para perempuan ini mengambil alih semua pekerjaan untuk mengubah lahan yang semula belukar menjadi kebun. Mereka menanam jagung, kacang tanah, sayur kacang panjang dan jahe. Hasil panen dari kebun nanti akan mereka kelola menjadi produk untuk dijual atau dikonsumsi bersama.

 

“kebun ini  hasil jerih payah ibu-ibunya, mulai dari membersihkan lahan dari resam yang tebal dan semak belukar yang tinggi, membuat lahan kebun perlahan-lahan menjadi datar dari yang tadinya adalah lereng yang curam, sampai dengan menanam”, tutur Nurul, ketua Kelompok Perempuan Pelestari Bukit Kayangan.

Kebun komunal ini adalah media berlawan para perempuan. Mereka percaya menanam adalah cara berlawan dan berterimakasih pada sumber-sumber air yang ada di sekitar mereka. Mereka juga dapat saling bertemu, bercakap-cakap, bertukar pengetahuan dan pengalaman di kebun komunal ini.

Di kebun itu mereka berkumpul dan menyusun agenda perjuangan mereka (6/03/2021). Mereka menyusun rencana untuk melakukan advokasi kebijakan di desa. Mereka ingin ada sebuah peraturan desa yang melindungi sumber air di kampung. Air mereka bersumber dari sebuah bukit yang bernama Bukit Kayangan. Bukit Kayangan memenuhi kebutuhan air di tiga desa, Muara Dua (termasuk dusun Kulik Sialang, Sumber Harapan dan Air Palawan. Tujuh tahun terakhir, Bukit Kayangan menjadi salah satu sasaran ekspansi perkebunan monokultur milik perusahaan PT. Ciptamas Bumi Selaras, anak perusahaan Ciputra Grup. Bukan hanya itu, pernah juga ada izin pertambangan biji besi atas perusahaan PT. Asia Hamilton Resources dan PT. Sebuku Mitra Energi.

“Seandainya Bukit kayangan airnya selalu mengalir,  gak dirusak, kitakan gak kesulitan cari air. Kemarau gak pusing. Air itu kebutuhan kita, yang tau itu perempuan. Misal laki-laki taunya ada nasi, tapikan perempuan yang tau mulai dari mencuci beras sampai menanak naasi itu butuh air. Suami taunya baju bersih dipakai, tapi perempuan yang tau kalau untuk mendapatkan baju yang bersih itu dicuci dan dibilas menggunakan air, begitu juga yang lain-lain. Kelompok Perempuan Pelestari Bukit Kayangan harus sama-sam kuat dan berjuang terus untuk mempertahankan Bukit Kayangan sampai kapanpun,” ucap Sartini.

Memperluas gerakan untuk menyelamatkan Bukit Kayangan juga menjadi agenda para perempuan ini. Mereka akan mengorganisir perempuan di dua kampung lainnya: Sumber Harapan dan Air Palawan. Mereka percaya semakin banyak perempuan yang bergerak melawan pengerusakan sumber-sumber penghidupan mereka, salah satunya Bukit Kayangan, maka perlawanan akan semakin kuat. Apalagi saat ini, kampung mereka mulai didatangi orang-orang luar yang memeriksa potensi biji besi dan batu bara di kampung mereka.

Kepala dusun Kulik Sialang membenarkan hal tersebut, dia mengatakan “waktu itu kan pernah ada yang nawarin, pak kadus maunya apa?, maunya gimana untuk Bukit Kayangan? ini sehingga saya bisa dapat izin di Bukit Kayangan ini?.”

“Lalu saya jawab, “saya gak mau apa apa. Saya Cuma mau Bukit Kayangan aman, tidak dirusak,  tidak ditambang.”  Kata Sri Yanto.

Solidaritas berlawan adalah modal, ditengah-tengah cepatnya laju ekspansi izin perkebunan dan pertambangan. Perempuan di Kulik Sialang mengambil tindakan melindungi ruang hidupnya dan mengkapitalisasi modal berlawan tersebut.